YOGYAKARTA, KOMPAS.com -- Ana kidung rumekso ing wengi/Teguh hayu luputa ing lara/Luputa bilahi kabeh/Jin setan datan purun/Paneluhan tan ana wani/Miwah panggawe ala/Gunaning wong luput/Geni atemahan tirta/Maling adoh tan ana ngarah ing mami/Guna duduk pan sirna.
Soimah Pancawati tampak khusyuk. Suaranya melengking mistis dari petilasan Nyi Turah lalu menyusup di sela kabut. Dusun Wonorejo sedikit bergerimis petang itu.
Di kejauhan terdengar ringkik belalang. Rumpun bambu petung berdiri kokoh di halaman depan Oemah Petroek, di mana acara tapak tilas itu berlangsung.
Petikan kidung "Rumekso Ing Wengi" yang ditulis Sunan Kalijaga itu begitu penting bagi Soimah.
Tidak hanya ditembangkan sebagai permohonan keselamatan, dijauhkan dari segala godaan malapetaka, dan dihindarkan dari perbuatan orang-orang jahat, tetapi nyanyian itu dilantunkan di hadapan Nyi Turah.
Tahun 2007 di hadapan Nyi Turah pula, Soimah memulai perjalanannya sebagai seniman bersama kelompok Acappela Mataraman.
"Saya latihan di Oemah Petroek bersama Mas Pardiman dan kawan-kawan. Terus Romo (Sindhunata) bilang, Nyi Turah minta kamu nembang sebelum pulang." tutur Soimah.
Ketika menjelang pulang Soimah lupa permintaan itu.
"Kaki saya berat dan menangis sejadi-jadinya." kata pesinden kelahiran Pati, Jawa Tengah itu.
Sejak peristiwa itu, Soimah berjanji suatu hari akan menembang di Karang Klethak Oemah Petroek.
Nyi Turah secara fisik berbentuk patung perempuan Jawa yang ditatah dari batu muntahan Gunung Merapi.
Ia kemudian menjelma menjadi spirit kasih ibu, tempat memohon segala kebaikan dan kelebihan.
"Selama ini saya sudah diberi rezeki, sekarang seperti nginang karo ngila, mengunyah sirih sambil berkaca," ujar Soimah.
Jadilah perhelatan pada Kamis (23/3/2017) malam itu sebagai wahana tapak tilas bagi Soimah.
"Saya menghargai proses, di mana berasal dan kembali ke asal. Jadi, tidak ke mana-mana," katanya.