Sebenarnya, Disney memahami bahwa karakter putri raja yang lemah tidak selamanya disukai. Karena itu setelah Beauty and the Beast dirilis pada 1991, menyusul kehadiran Jasmine dalam Aladdin (1992), karakter princess yang lebih kuat pun dihadirkan.
Putri Indian yang mandiri dan pemberani muncul dalam sosok Pocahontas (1995). Prajurit perempuan yang diambil dari legenda China Hua Mulan pun dihadirkan dalam Mulan (1998).
Dalam film-film berikutnya, citra perempuan yang lemah dan pasrah pun pelan-pelan diubah. Rapunzel dalam Tangled (2010) digambarkan sebagai gadis muda yang senang berpetualang.
Ada juga sosok Merida yang gagah perkasa dalam pertempuran di film besutan Pixar, Brave (2012). Begitu juga petualangan yang diambil dari kisah Polinesia, Moana (2016).
Managing Director of The Walt Disney Company in South East Asia Robert Gilby mengatakan bahwa evolusi karakter para princess ini memang mengikuti perkembangan zaman.
Karena itu, menurut Gilby, saat menghadirkan Cinderella dalam bentuk live action yang diperankan Lily James, maka Cindy pun dihadirkan sebagai perempuan yang berjuang untuk nasibnya sendiri. Cindy yang berani melawan ibu tirinya yang melarang pergi ke pesta dansa.
Belle dalam sosok Emma Watson juga digambarkan sebagai perempuan yang penuh impian. Perempuan yang ingin bertualang dan melihat dunia yang luas.
Dongeng yang membahayakan
“Tale as old as time…”
Salah satu penggalan di lagu Beauty and the Beast itu cukup memberikan jawaban atas pertanyaan: Meski karakter princess mengalami evolusi, mengapa substansi cerita tidak mengalami perubahan.
Disney sepertinya khawatir mengubah cerita akan menghilangkan keajaiban di dalamnya. Keajaiban dongeng yang dikisahkan secara turun-temurun sejak dulu kala.
Padahal,dari sisi nilai, menghadirkan kembali Cinderella atau Beauty and the Beast dalam bentuk live action memang agak "menyimpang" dengan sejumlah karya Disney sebelumnya, yang terlihat lebih dekonstruktif.
Seperti dalam Maleficent (2014) misalnya. Pada film yang dibintangi Angelina Jolie itu, Disney menghadirkan sisi lain dari sosok antagonis dalam kisah Sleeping Beauty (1959) tersebut.
Dengan cerita yang memberikan penjelasan mengenai alasan dan latar belakang Maleficent mengutuk Aurora hingga menjadi "Putri Tidur”, Disney seperti berusaha menjelaskan bahwa perspektif tentang "orang jahat" tidaklah ada secara tiba-tiba.
Namun, ada proses panjang hingga akhirnya seseorang berubah jahat, atau dikonstruksikan jahat.
Lagipula, suatu label terhadap "orang jahat" juga bukan sebuah kebenaran tunggal, sebab selalu ada perspektif lain yang perlu dipahami. Perspektif lain itulah yang berhasil ditampilkan di Maleficent.
Atau dalam Frozen (2013) misalnya. Meski tetap menghadirkan princess cantik dalam sosok Anna dan Elsa, tapi keduanya bukanlah putri raja yang pasrah dalam mencari cinta dan menunggu Prince Charming-nya datang. Justru kekuatan cinta ditonjolkan pada hubungan mereka sebagai kakak-adik.