"Marto Klungsu dari Leiden...
Semula ia diparabi Marto Legi, karena ia lahir pada hari Legi, Pahing, Pon, Wage Kliwon
kemudian ia diparabi Marto Klungsu, sebab, setelah lulus sekolah ongko loro,
dia sudah seperti Raden Panji Raras, membawa ijazahnya pergi ke kota,
ingin cari tahu siapa bapaknya yang ada di bilangan keraton Solo
Nah sudah pasti, den mas Gung tak mau bersedia menerima si kemproh bercelana kolor, procotan dari lembu petengnya di desa Karanglo, Plumbon, Dlanggu. Pulang-pulang, sebuah benjolan menclok di kepala Marto, jadilah ia Marto Klungsu".
Saya lihat Mas To menitikkan air mata. Entahlah apa yang dirasakan olehnya. Barangkali, ia sedang mengenang kejayaannya di masa muda dulu, atau...
Ah, sebelum Mas To kelewat dalam kenangannya, saya pun langsung memetik gitar, membawakan dua puisi Mas To berjudul "Perahu Layar" dan "Sepasang Daun-daunan" yang saya gubah semalaman.
Waktu pun terus bergerak, setelah dua puisi Darmanto, saya pun menyanyikan puisi karya Timur Sinar Suprabana dan puisi karya penyair cilik Zeva, sebelum akhirnya saya memanggil kawan-kawan Quartet on the Street untuk menemani saya menyanyikan lagu-lagu karya saya yang bertema lingkungan dan kemanusiaan.
Sekira 10 lagu kami bawakan siang itu. Para pengunjung Forum Wedangan siang itu tampak bersemangat memberi support kepada Mas To dan Mba Mur dengan ngeploki saya riuh rendah tiap saya selesai membawakan lagu.
Saya pun segera turun panggung, langsung mendekati Mas To seraya mendoakan beliau agar lekas sembuh dan berkiprah lagi dalam dunia kesenian. Mas To, dengan mata berkaca terdengar mengeluarkan kata-kata, tapi tak jelas apa maknanya. Mba Mur lah yang kemudian menerjemahkannya, "Terma kasih Mas," kata Mba Mur kepada saya.
Itu perjumpaan saya dengan Darmanto setelah puluhan tahun tak bertemu. Perjumpaan berikutnya terjadi tahun 2015.
Diantar oleh penulis Triyanto Tiwikromo dan Donny Danardono, kami bertandang ke rumah beliau di daerah Sampangan, Semarang. Mas To dan mbak Mur nampak senang. Beberapa kali wajah saya diuyel-uyel oleh Mas To sebagai isyarat beliau senang.
Kami pun bersuka cita siang itu dengan nyanyi dan puisi.
Perjumpaan berikutnya berlangsung tahun lalu saat kawan-kawan seniman Semarang membuat acara penghargaan untuk Mas To di Taman Raden Saleh Semarang.
Sebelum Mas To pulang lebih awal, lantaran kesehatannya yang kian menurun, saya diminta untuk naik panggung dan bernyanyi buat beliau. Usai bernyanyi, dari kursi roda Mas To melambaikan tangan kepada saya. Turun panggung, saya langsung memeluknya.
Esoknya, saya diminta Mba Mur untuk datang ke rumah beliau. "Makan siang di sini, Mas," kata Mba Mur melalui telepon.
Kondisi Mas To jauh lebih memprihatinkan dibanding semalam. Mba Mur mempersilakan saya berdua di kamar dengan Mas To, Beliau tampak lemah dan hanya bisa tidur miring. Saya genggam tangannya seraya menguatkan beliau.
Sehabis makan siang, Mba Mur baru bercerita tentang kondisi terakhir kesehatan suaminya yang kian memburuk. "Kami sudah pasrah, Mas," kata Mba Mur lirih.