Itulah pertemuan saya terakhir dengan Mas To. Beberapa kali saya masih sempat bertemu dan ngobrol dengan putra-putrinya, Mba Abigael dan Arto, melalui telepon maupun jumpa langsung.
Sabtu 13 Januari 2017, Mas Darmanto Jatman berpulang setelah menjalani perawatan di RS Karyadi Semarang.
Ah... saya percaya dengan kesemestian, tapi saya tetap merasa kehilangan yang sangat. Saat beliau sakit, saya senantiasa menanti keajaiban dan ingin melihat beliau bergas waras, lalu menulis puisi lagi, membacanya kembali.
Kehilangan Darmanto adalah kehilangan seniman yang paripurna. Dalam berpuisi, beliau tak cuma berurusan dengan diksi, majas atau rima--yang telah selesai di saat Darmanto remaja--, sebab Darmanto telah membangun dunia dalam puisi-puisinya.
Dunia yang dibangun dengan estetika, ilmu sosial, utamanya filsafat dan psikologi sosial. Ya, itu karena Darmanto adalah penyair yang juga ilmuwan. Kecerdasan, kepekaan, dan keindahan berpadu dalam karya-karyanya.
Darmanto lahir di Jakarta 16 Agustus 1942 dengan nama kecil Soedarmanto. Ia mulai terkenal dengan sajaknya sejak 1968. Beberapa puisinya yang terkenal berjudul "Isteri", "Ana;", "Karto Iya Bilang Mboten", dan "Ki Blakasuta Bla Bla".
Berkat karya-karyanya, Darmanto mendapat sejumlah penghargaan, antara lain The SEA Write Award pada 2002, Anugerah Satyalencana Karya Satya pada 2002, dan Anugerah Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah RI pada 2010.
Sugeng kondur Mas, kelak kita berpuisi dan bernyanyi kembali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.