SUDAH menjadi cerita lama, seni tradisi berupaya dimotivasi berbagai khalayak. Warisan budaya asli diberi ruang lebih, yang tak hanya muncul dari kalangan seni.
Kali ini, pentas ketoprak jenaka dihelat oleh Perhimpunan Ikatan Alumni Perguruan Tinggi Negeri (Himpuni) yang peduli. Pergelaran itu, di sana-sini, tertata lemah. Tapi, di situ pula terhampar harap di benak.
Jumat, 23 Februari 2018 lalu di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, sekumpulan pejabat, petinggi negeri, tokoh publik, pengusaha, sampai mantan aktivis tampil satu panggung.
Lakon ketoprak canda-nya berjuluk “Geger Batavia”. Digelar dan direspons beraneka. Sebagian pewarta yang hadir mengatakan ketoprak rasa Pilkada, sementara yang lainnya menyindir sebagai ajang silaturahmi keluarga.
Pihak yang lainnya menimpali, peristiwa seni tradisi itu hanya jeda lucu-lucuan belaka. Hiburan biasa, tak usah terlalu diberi makna.
Baca juga : Pejabat DKI Persembahkan Ketoprak Membangun Kota Raja untuk Djarot
Sementara, penyelenggara (Himpuni) bersikukuh bahwa narasi ketoprak adalah mengingatkan kondisi saat ini. Katanya, ada ancaman dari luar, dari kekuatan asing yang berpotensi merusak persatuan NKRI.
Lakon “Geger Batavia” memang bertutur sejarah Sultan Agung Mataram yang ingin mengusir VOC dari bumi Nusantara. Hal itu karena mereka (VOC) memonopoli perdagangan.
Maka, terjadi intrik-intrik politik, pengkhianatan para Dipati sampai pertempuran tentara-tentara asing dan pemberontakan di daerah-daerah.
Cukup heroik penjelasannya di naskah. Meski, tak cukup tercerna dengan baik oleh penonton, karena terlalu banyak canda daripada pesan serius yang disampaikan di pentas.
Pokja (kelompok-kerja) seni budaya Himpuni, yang didirikan sekitar dua tahun lalu, dibentuk bersamaan pokja-pokja lain. Seperti pokja penelitian dan akademi, ekonomi, olah raga, dll.
Terdiri dari elemen 32 organisasi ikatan atau keluarga alumni. Semisal dari ITS, ITB, UI, UGM, Unair, Undip, Unej, Unibraw, dan lain-lain berupaya total berekspresi.
Dipandu sanggar seni ketoprak Adhi Budaya, sejak beberapa tahun lalu, dengan instruktur utama serta pemain lakon yang kuat. Semacam Kies Slamet, ternyata berjalan terengah-engah.
Para pemain yang sebagian besar anggota Himpuni, salah dialog, gagal fokus di panggung, kedodoran dalam penokohan, sampai gaya bicara sekenanya yang memicu gelak tawa.
Memang namanya Ketoprak Guyonan, menghibur tapi pada akhirnya membuat nalar kita berpikir kritis: apakah hanya sampai di situ energi seni Himpuni?
Apakah sia-sia pergelaran mereka, sementara infrastruktur seni kita memang sejak lama lemah, pemerintah seakan berjarak; dan pentas seni sangat perlu dukungan dari berbagai pihak?