Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Ketoprak Himpuni, Berharap Pada Seni Tradisi

Kompas.com - 26/02/2018, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selayaknya, itu semua dicoba oleh Himpuni. Berkolaborasi dengan teater-teater modern yang mapan. Taruhlah, semacam Teater Koma yang legendaris itu, yang menyedot penonton kalangan menengah-atas tanpa meninggalkan kualitas.

Atau, dengan teater Gandrik, yang lucu, yang tentunya dinikmati tak hanya keluarga dan kolega terdekat penyelenggara. Tapi masyarakat umum yang mencintai tontonan bermutu.

Seterusnya, serahkan saja pada ahlinya, anggota Himpuni tak perlu jadi aktor dadakan. Himpuni bisa menginisiasi ingatan pada tampilan teater-komedi satir serius ala Moliere dari Perancis sana, yang diadopsi dengan cita-rasa lokal.

Membangun apresiasi, dengan mendukung dari belakang komunitas-komunitas teater yang berkualitas, siapa tahu bisa terealisasi?


Harapan dari pendidikan

Realitasnya, cita-cita Nawacita penyelenggara negara ini, agar bangsa kita berdaulat di wilayah budaya nampaknya makin samar. Undang-Undang Kemajuan Budaya boleh saja diluncurkan, namun implementasinya yang belum beranak-pinak.

Teater rakyat di Jawa, dalam bentuknya seperti ludruk, ketoprak, wayang orang, wayang kulit di beberapa daerah, hanya sesekali tampil “meraksasa” di Taman Budaya.

Sementara itu, festival kesenian rakyat dan ajang seni tradisi atau seni panggung kontemporer yang berskala global mewakili seniman Indonesia, sepertinya belum cukup maksimal dihelat.

Sayup-sayup pertunjukan akbar di manca negara tahun lalu itu terdengar lirih di dalam negeri. Ada banyak yang digelar, ada sebagian yang layak dihargai.

Tapi, semakin meluber pula yang luput dari radar amatan dari persebaran kesempatan komunitas-komunitas seni yang berderak tumbuh setiap saat. Mereka sejatinya berbakat, bisa tampil mencerahkan, tak terserap, yang kemudian melambat oleh berbagai sebab.

Akar dari semuanya adalah belum cukup tersedianya sistem pengembangan dan pertumbuhan melalui pendidikan seni tradisi yang baik, menggalinya sebagai potensi kekayaan adab dan pengetahuan.

Kita masih lengah, tak memberi penghargaan yang pantas bagi seniman maupun calon seniman itu.

Lagi-lagi, kita tak punya banyak role model, yang sesekali saja mendengar kabar untuk rujukan dan menjadi tauladan semangat.

Seperti aktor, sutradara, yang juga penulis, Putu Wijaya, yang tahun ini baru saja mendapat gelar kehormatan akademik, Doctor Honoraris Causa (HC) dari Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, untuk seniman teater berprestasi dalam pengembangan ilmu seni teater modern.

Putu berpidato, dalam pengukuhan gelarnya bahwa akar-akar seni tradisilah yang menjadi kunci untuk memenangkan seni Indonesia di forum-forum seni teater global.

Pada akhirnya, kita kemudian, lagi-lagi bersandar pada Ki Hajar Dewantara, siapa lagi kalau bukan dia, yang ia seakan bersuara kencang: Sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia, harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya (Pusara, Januari 1955).

Senyatanya, kehadiran Himpuni sebuah alternatif. Sebuah kekuatan, bertemunya banyak orang berpotensi, yang masih peduli dengan cara menabur jejaring, membuka akses, yang seperti kata-kata Ki Hajar Dewantara bisa membantu “kepentingan hidup kebudayaan dan hidup kemasyarakatan”.

Mereka (Himpuni) aset yang perlu dieksplorasi meski pergelarannya kali ini minim apresiasi. Maka, sepatutnyalah diberi wadah lebih luas berkreasi.

Mungkin saja mereka kelak bisa berkontribusi di sistem produksi peristiwa atau wacana seni yang berbobot? Dibutuhkan namun perlu dikawal ketat, dibuntuti sekaligus didampingi. Agar energinya tak habis dan semoga tak pernah henti memberi.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau