Seni tradisi, suara dari bawah
Tak ada yang mubazir, demikian pula upaya Himpuni. Seni ketoprak adalah seni rakyat. Mereka adalah suara-suara masyarakat bawah yang tersumbat.
Dulunya, ekspresi seni ini bercita rasa hiburan sarat makna, bercermin pada peristiwa-peristiwa yang monumental di masa silam. Kaca Benggala, refleksi kronik dialog penguasa negeri dan rakyatnya pada masa-masa krisis sebagai pengingat.
Tradisi itu bertransformasi menjadi sekadar peristiwa canda-hiburan, minus penghayatan dan tampilan berkarakter. Dipentaskan dengan hura-hura, dipoles di sana-sini untuk mendulang empati, menggiring kelas menengah-atas menghampirinya.
Tidak salah mutlak meskipun tak sepenuhnya tidak benar. Namun, sangat ideal jika seni tradisi selayaknya dikembalikan pada habitatnya: dinikmati semua orang.
Samar-samar pelaku seni tradisi terlihat, meski kabur, di antara hingar-bingar generasi milenial yang memaknai “animasi wayang kultur pop” dengan caranya sendiri lewat Youtube.
Di saat sama, Ketoprak Tobong tradisional nyaris punah, mereka yang benar-benar serius memanggungkan lakon, sampai kisah kesehariannya yang terlunta-lunta segera menyeruak ke dalam benak.
Minim sekali regenerasi, dan masalah klasik kekurangan dana, serta penampilan yang jauh dari memikat pirsawan muda.
Srimulat, kelompok sandiwara rakyat, berasosiasi dengan ciri Ludruk Jawa Timur, yang tumbuh di THR, Surabaya, yang dibalut komedi kental selalu terbawa-bawa ingatan pada era 80-an.
Bintang mereka dulu berbinar-binar. Layak dipoles kembali, dikangeni, dicoba ditampilkan ulang via pentas Himpuni ini.
Kadir, Tessy, dan Polo sebagai bagian dari kelompok Srimulat entah sudah berapa kali dalam setahun bisa tampil karena tergerus stand-up comedy. Mereka pada acara ketoprak humor ini akhirnya manggung.
Mungkinkah, seperti era Markeso, pentas monolog tradisional (ludruk garingan) yang dulu tenar, pentas dari kampung ke kampung (dari pangggung ke panggung) kemudian segera sirna ditelan zaman?
Era pentas di televisi meredup, demikian pula makin jarang ada tawaran pentas. Srimulat maupun perkumpulan Wayang Orang (WO) merana.
Sejak awal, Himpuni memang nampaknya tak berharap menyandingkannya dengan pentas pertunjukan serius, semacam teater modern dan penuh kekuatan improvisasi keaktoran yang andal.
Kemudian, narasi yang memunculkan kejutan-kejutan di tangan sutradara bertalenta pun piawai membuat konsep acara, memilih tema atau malahan menerobos dengan ide gila menyambangi medium digital?