UOB Painting of The Year adalah program unggulan mereka di Indonesia yang secara bertahap para pemenang di tingkat lokal akan berlaga di tingkat regional dan adanya kesempatan pula para pemenang untuk mengajukan program residensi di museum bergengsi di Fukuoka Museum, Jepang.
Dalam tujuh kali penyelenggaraan sampai 2017, UOB Indonesia telah mampu membawa seniman dan perupa Indonesia memenangkan 4 penghargaan pretisius kategori seniman profesional di sayembara UOB tingkat regional ASEAN. Mengalahkan sejawatnya para perupa kuat dari Malaysia, Thailand maupun Singapura.
Selintas menyebut nama seperti Indra Wahyu, pada 2012 membawa Indonesia mampu bersaing dan memenangkan di tingkat regional karena lukisannya yang ekspresif mempresentasikan gambaran “orkestrasi”permainan piano tentang isu-isu pendidikan.
Ini mengingatkan bahwa bangsa Asia, khususnya Asia Tenggara membutuhkan pendidikan yang terintegrasi, kuat dan saling mendukung dari berbagai pemangku kepentingan layaknya sebuah irama yang harmonis dalam permainan piano, yakni: negara, sekolah dan masyarakatnya. Indra berhasil membawa semangat Asia dengan karyanya The Hymn of School.
Pada 2014, perupa Antonious Subiyanto mengulang kesuksesan Indra dengan ledekannya pada karyanya menyoal isu masyarakat konsumen dan hedonis sejagat. Dengan jeli, Antonious mengulik kembali era dimana hasrat manusia menjadi dominan di abad digital ini.
Lukisannya Old Stock Fresh Menu Antonius mengibaratkan kita sebagai jiwa manusia-manusia yang menghamba barang-barang konsumsi dan dipanaskan dalam penggorengan raksasa, plus tungku yang menyala, serta kayu pembakar juga api. Sementara latar lukisan yang gelap meneguhkan keruhnya ruang batin kita.
Pada 2015, lagi-lagi perupa Indonesia, Anggar Prasetyo berhasil juga menang di tingkat regional ASEAN dengan karya Exploitation of Fish, yang merupakan penggambaran bahwa negeri kita pun di kawasan Asia Tenggara persoalan dunia maritim menjadi sangat krusial. Hasil produksi lautan, sebagai sumber energi dan hidup ada diambang kerusakan total karena salah kelola.
Anggar dengan cerdas mengingatkan secara puitik dengan ikan-ikan yang tergambar, samar-samar timbul- tenggelam dalam warba abu-abu dan hitam adalah sebuah bencana lebih besar sedang menanti di kawasan ini, jika lengah pada kelangsungan ekosistem di lautan.
Yang terakhir, perupa Gatot Indrajati, sukses juga di tingkat regional. Setelah ia memenangkan di sayembara lokal, dengan gaya slengekan-nya bertutur bahwa sebuah kota besar yang chaos dalam Right or Wrong My Home pada 2016.
Ia hendak berujar, di kawasan ini, baik di Indonesia pun di Asia Tenggara memiliki keunikan-keunikan tersendiri dalam memahami kehidupan keseharian di kota besar.
Pesan-pesan rasa memiliki, tak pernah terlepas, meski menerima kekalahan dengan tanpa putus asa, meruyaknya tragedi sosial-politik maupun harapan-harapan bertumpuk menjadi satu dikaryanya tersebut.
Gatot hendak meletakkan posisinya dalam ingatan tentang diri dan dimana rasa komunal kita bermukim, mencoba menerima sepenuhnya yang paling baik dan yang paling buruk dari wajah kita.
Pada akhirnya, sayembara memang bukan lagi sekadar siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bagaimana keputusan dewan juri, obyektif atau keniscayaan keputusan-keputusan yang subyektif semata.
Namun, lebih dari itu, sayembara seni senyatanya adalah sebuah ruang bersama untuk berdialog yang terus saja disemarakkan oleh berbagai pihak penyelenggaranya tahun demi tahun yang lewat.
Untuk memahami dan terus mengasah yang terberi, dari bakat-bakat yang terseleksi, sudah sampai sejauh mana dinamika kesenian ini memberi makna bagi bangsa yang katanya berdaulat dalam kebudayaan ini?
Sudah cukup mampukah kita, seniman-seniman mewakili Asia dan berbicara lebih lantang tentang kita dan Indonesia di mata dunia?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.