Laut "sakit", sumber daya menurun
Berdasarkan temuan yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2018, dari 1067 site di seluruh Indonesia terdapat 387 site atau 35,18 persen terumbu karang yang berada dalam kategori jelek, 366 site masuk ke dalam kategori cukup, 245 site tergolong baik, dan hanya 70 site yang masuk ke dalam kategori sangat baik.
Terumbu karang dalam kategori jelek menunjukkan peningkatan. Perubahan iklim, pemutihan karang, dan hama, dikatakan sebagai beberapa faktor alami penyebab penurunan kondisi terumbu karang.
Faktor tidak alami atau antropogenik yang timbul karena aktivitas manusia seperti pencemaran, pengeboman, dan pengambilan karang juga berdampak negatif terhadap terumbu karang.
"Populasi Bajau semakin bertambah, tapi resources hari ke hari semakin turun, itu ada masalah," lanjut Andar Halim dalam film tersebut.
Menurut Andar, penyebabnya adalah, antara lain, penggunaan pestisida, racun, dan deterjen, yang membuat laut merasa sakit.
Belum lagi, permintaan yang kian bertambah akan sumber daya laut yang sudah mulai berkurang.
Overfishing telah terjadi. Jika dulu orang-orang Bajau biasa menangkap ikan yang besar-besar, kini hasil mereka melaut hanya berupa ikan-ikan yang masih kecil.
Apa yang akan terjadi jika ikan-ikan ini benar-benar punah?
The Call from the Sea ungkap keresahan orang-orang Bajau
Inilah yang mendorong Taylor McNulty kemudian menggarap film dokumenter 15 menit The Call from the Sea, yang dirilis pada 2016.
Besar di Florida, AS, yang dekat dengan pantai, telah menumbuhkan kecintaannya akan laut. Selama hampir sebulan Taylor tinggal bersama orang-orang Bajau.
"Saya ingin membuat film tentang orang-orang yang hidup berketergantungan dengan laut dan mengetahui perubahan apa yang mereka rasakan yang tengah terjadi di laut, serta kecemasan mereka," ungkap Taylor ketika berbagi cerita dengan VOA Indonesia belum lama ini.
Kecemasan Andar akan masa depan laut terlihat dalam film yang berhasil menarik perhatian dunia dan tembus di 50 festival film di 15 negara, termasuk Kanada, Nigeria, Inggris, dan Indonesia,
"Andar bahkan takut dengan generasi ke depannya, anak-anaknya, apa yang akan mereka lakukan jika kondisi laut semakin buruk," ujar Taylor, yang kini menetap di New York ini.
Jika memang kehidupan mereka terancam, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali pindah dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru, sebagaimana orang-orang Bajau pada umumnya.
"Andar mengatakan, 'Kami bisa beradaptasi. Kami bisa mengatasinya jika memang hal ini terjadi. Kami sudah melakukannya selama ratusan tahun'," kata Taylor.