Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film Dokumenter The Call From the Sea Ungkap Masalah Laut dan Suku Bajau

Kompas.com - 15/01/2019, 14:49 WIB
Ati Kamil

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com -- Melalui film The Call from the Sea (2016), sutradara Taylor McNulty dari AS menyoroti kehidupan Suku Bajau di Sulawesi Tenggara, yang hidup bergantung pada laut.

Film itu sudah masuk ke 50 festival film di 15 negara, termasuk Kanada, Nigeria, Inggris, dan Indonesia.

Dengan pemanasan global dan pencemaran yang telah membuat kondisi laut menurun, bagaimana nasib masa depan Suku Bajau?

Pulau Kaledupa di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, terkenal akan keindahan alam, tak terkecuali terumbu karang warna-warni yang menjadi atraksi favorit para penyelam dari mancanegara.

Tidak hanya itu, pulau ini juga menyimpan rahasia budaya yang sudah tumbuh bertahun-tahun lamanya.

Hidup sepiring dengan lingkungan
Tepatnya di Sampela, bermukimlah orang-orang Bajau (Bajo), yang hidup berpindah-pindah di perairan Indonesia, Filipina, dan Malaysia.

Orang-orang Bajau sudah bermukim di Sampela sejak 1960-an. Hidup mereka bergantung pada laut.

Walau tak jauh dari daratan, mereka tinggal di rumah-rumah yang didirikan di atas permukaan laut. Inilah yang membedakan Suku Bajau di Sampela dengan yang di tempat-tempat lain, yang biasanya tinggal secara tradisional di kapal dan nomaden.

Sesekali mereka ke daratan untuk mendapatkan air bersih yang mereka barter dengan ikan dari laut. Makanan yang mereka konsumsi pun merupakan hasil dari laut.

Jika banyak orang mengira orang-orang Bajau itu hanyalah seperti nelayan modern, kenyataannya cukup berbeda.

Mereka hanya menangkap hasil laut sesuai kebutuhan tanpa membuang jaring ke laut. Dalam kata lain, mereka tetap menjunjung tinggi kelestarian laut.

"Orang Bajau itu satu piring dengan lingkungan," papar Andar Halim dalam film dokumenter The Call from the Sea, karya sutradara Taylor McNulty dari AS.

Baca juga: Hutan Mangrove Penolong Nelayan Suku Bajau Saat Musim Angin Barat

Sejak sepuluh tahun lalu, Andar Halim bersama Saipa, istrinya, dan kini dua anaknya, Halim dan Salma, menetap di Sampela.

Sejalan dengan waktu dan kemajuan zaman, Andar merasakan berbagai perbedaan mendalam yang terjadi di lingkungannya.

Ia sadar akan permukaan air laut yang semakin naik, ikan yang semakin jarang, dan kesehatan terumbu karang yang menurun, yang kini bertambah pucat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau