PADA Maret ini, ada pameran cukup menarik untuk ditelaah. Perhelatan ini ingin mengeksplorasi eksistensi Eve, sebagai semacam metafora energi feminitas.
Perempuan (Eve), sepanjang peradaban, acapkali keberadaanya dipertentangkan dengan oposisi binernya: laki-laki (Adam). Sementara perempuan, terus-menerus ditantang beban kebimbangan identitas kultural-spiritualnya.
Peneguhan-peneguhan yang silam, seperti klaim kesetaraan atas peran tradisionalnya sebagai “makhluk privat” disandingkan dengan “makhluk sosial” senyatanya dari hari ke hari nyaris terwujud.
Tapi kegelisahan belumlah usai. Tatkala hidup berlanjut, menawarkan kompleksitas dan kemungkinan-kemungkinan. Ruang-ruang kosong di batin meminta diisi, realitas-realitas alternatif yang baru hadir dan menuntut diberi makna dan pengertian.
Kajian ilmu-ilmu budaya dan seni memberi sinyal, upaya memeriksa kembali jalannya pemahaman tentang eksistensi ekspresi artistik perempuan di era modern.
Dari pengalaman-pengalaman personal yang paling subtil, yang diperkaya dengan aspek moralitas, kesadaran kerapuhan atas tubuh dan ingatan-ingatan kolektif yang mengeras atau mencair, persilangan – persilangan kultural, kecemasan – kecemasan yang bersua realitas psiko-geografik di era cyber connectivity.
Selalu menarik membincangkan ulang, melihat para seniman perempuan ini berupaya menemukan ruang-ruang barunya dengan pernyataan isu-isu tentang teritori yang kadang kala kontradiktif. Tak ada pengentalan ekspresi identitas seperti masa lalu.
Pengkaji kutural seperti Hommi Bhaba menyebutnya sebagai Ruang Ketiga (Third Space). Memahami fenomena Hibriditas, tak ada yang benar-benar utuh dan tunggal.
Menerima ambang warisan kultural yang meluas-menyempit, mencampurkan praktik dan diskursus dalam teka-teki, mencari-cari energi spiritualitas tatkala dalam kondisi in between.
Kita bisa menguji sekaligus menikmatinya bersama dalam pameran berjuluk: Reinventing Eve yang dihelat pada 13-17 Maret 2018 ini di Park 1 Avenue, Function Hall, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pameran ini diselenggarakan dan dikurasi ISA Art Advisory.
Arahmaiani, sebagai orang Jawa-Sunda yang Muslim, mengeksplorasi proyek seninya dengan lukisan-lukisan, obyek, instalasi dan performans dengan teks-teks Arab-Melayu (Jawi atau Pegon).
Upaya mentransformasi kegelisahan dan pencarian tak henti akan akar kultural leluhurnya sekaligus energi spiritual membawa bahasa lokal yang mewarisi ratusan tahun perjumpaan budaya Muslim di Tanah Air dan kepercayaan Budhis di Tibet.
Ella Wijt melihat “Bumi dan Dunia” dalam imaji personalnya. Ia menafsirkan ulang tentang cerita mistis setempat, lokasi di mana ia tinggal dan berkarya tentang legenda perempuan menangis dan ular yang dikaitkan dengan mitologi Yahudi.
Kisah ini yang pada akhirnya mengubah cara ia memahami objek, alam, dan keyakinan-keyakinan tertentu dengan lukisan-lukisannya.
Ines Katamso, yang menyajikan kanvasnya dengan bentuk-bentuk geometris, garis, dan pola-pola organik adalah manifestasi refleksi diri bahwa ia mencoba memahami makna kerapuhan.