DI PENGUJUNG tahun 1996, sastrawan dan wartawan Seno Gumira Ajidarma berhadapan dengan gurun pasir yang tak bertepi.
Seperti seorang pengelana di dalam karyanya, Seno memasuki kota Timbuktu, sebuah kota di tengah Gurun Sahara, negeri Mali yang terdiri dari selimut pasir yang menghadap langit senja keemasan.
Dalam suasana itulah, di antara senewennya si pengelana menghadapi roti dan minuman yang diliput pasir, Seno Gumira menyimpan "senja" di Timbuktu yang kemudian melahirkan novel "Negeri Senja".
"Aku telah menyeberangi tujuh lautan, mendaki dua puluh gunung, menjelajahi tiga gurun, dan menyuruk ke perkampungan suku-suku terpencil, namun aku tidak pernah merasa bisa tinggal di suatu tempat agak lebih lama."
Demikian Seno Gumira Ajidarma memperkenalkan tokoh utama "aku", sang pengelana, sang musafir dalam novel "Negeri Senja" yang ditulis 17 tahun silam.
Seperti Timbuktu, Seno mendefinisikan Negeri Senja sebagai sebuah negeri di mana matahari tak pernah tergelincir dan tak juga benderang di siang hari.
Ratusan tahun negeri yang selalu senja itu menunggu seseorang yang mampu menyelamatkan mereka dari kutukan negeri yang selalu redup dan muram itu.
Lalu, kita merasakan tahun-tahun Orde Baru menyelip dan bersatu dalam negeri fiktif ciptaan Seno.
Syahdan, demikian Seno menulis, Negara Senja dipimpin oleh Puan Tirana, sang penguasa buta yang mempunyai masa lalu yang kelam sekaligus menarik.
Selama 200 tahun, sang Puan memerintah dilindungi oleh pengawal kembar dan yang senantiasa bisa menangkis siapa saja yang berani merobohkan Tirana.
Tak mudah untuk memisahkan novel ini dengan pengalaman kita membaca "Naga Bumi", seri novel silat karya Seno.
Dalam jagat Negeri Senja, kita juga akan menemukan berbagai kelebatan silat antara para pembela Tirana yang mencoba merubuhkan berlapis-lapis kelompok gerakan di bawah tanah yang mempunyai nama-nama menarik dengan karakternya masing-masing.
Berbagai nama dan karakterisasi kelompok itu sungguh sangat mengingatkan pada kelompok di masa pemerintah Orde Baru. Simaklah nama-nama di bawah ini:
Nama-nama pergerakan ini sungguh humor gelap gaya Seno Gumira yang mengalami represi Orde Baru dan kini bisa tersenyum-senyum mengenang masa terburuk dalam sejarah kehidupan Indonesia itu, paling tidak sejauh ini.
Harus dimaklumi Puan Tirana--yang tak jelas gendernya meski sang penulis menyebutnya "Puan"--adalah seseorang yang betul-betul keji hingga dia tak sekadar menghantam, membunuh para pemberontak.
Jika dia betul-betul benci, sang tiran ini mampu membuat siapa pun yang menghinanya menjadi patung es yang kehilangan nyawa dan selamanya hidup sebagai patung yang hanya mampu mengeluarkan air mata.
Dalam program podcast "Coming Home with Leila Chudori" pekan ini, Seno Gumira mengaku hanya menyelesaikan novel ini dalam tiga bulan dengan membangun jagat antah berantah yang sebetulnya kasusnya sangat realistik.
Tentu saja atmosfer dan suasana keseharian Sang Pengelana yang sesekali mengenang dan "berdialog dari jauh" dengan dua tokoh kesayangan pembaca Seno: Alina dan Maneka.
"Sang Pengelana membutuhkan seseorang yang dikenalnya, seseorang dari sejarah hidupnya untuk bisa berkomunikasi," demikian kata Seno ketika ditanya mengapa harus menyelipkan nama Alina dan Maneka dalam dunia antah berantahnya itu.
Novel yang diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia dan akan hadir pada Februari 2021 ini muncul dengan sampul baru dan memasukkan beberapa ilustrasi tokoh-tokoh magnetis karya Widiyatno.
Pembahasan novel yang memenangkan Khatulistiwa Literary Award tahun 2004 berlangsung di program podcast "Coming Home with Leila Chudori" edisi "In Conversation with Seno Gumira Ajidarma" melalui Spotify.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.