Di antara jadwal padat mengikuti acara-acara pesta, minum, menebar jaringan, mengalami kerja redaksional seperti menulis dan wawancara, terlihat bagaimana Esther yang menjalin perkawanan sesama peserta seperti Doreen--yang bebas lepas--dan Betsy.
Dia tetap hanya bisa berbagi cerita sekelumit tentang dirinya pada mereka.
Sesekali kita akan melihat betapa cerdas dan cerkasnya Esther, tetapi kali lain kita menyaksikan Esther terus menerus mengeluh dan merasa dirinya selalu saja ada kekurangan hingga jiwanya seolah bernaung dalam kegelapan.
Pada satu saat Esther Greenwood mengucapkan sesuatu yang sangat mewakili banyak perempuan di dunia, "I saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet another fig was a brilliant professor..."
Cabang-cabang pohon itu masih diteruskan pada kalimat berikutnya. Esther Greenwood pada satu saat, seperti yang banyak dialami anak-anak muda pada usianya, tak selalu yakin apa yang ingin (dan bisa) dilakukan selanjutnya.
Cabang-cabang yang dia bayangkan: dunia akademis, dunia sastra, dunia domestik adalah berbagai cabang hidup yang dialami Sylvia Plath.
Ada keputusasaan nada tokoh Esther karena dia merasa Buddy Willard, lelaki yang sejak lama sudah digadang-gadang orangtuanya bakal menjadi suaminya ternyata lelaki konservatif yang menganggap bahwa "jika kamu sudah mempunyai anak, kau tak akan mau menulis puisi lagi."
Dan, itu pula yang menyebabkan Esther sudah menyimpulkan, "I hated the idea of serving men in any way" (hal. 76).
Kita harus melihat konteks tuntutan terhadap perempuan di negara Barat pada 1950-an: menikah, lalu menjadi istri dan ibu yang baik. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab ledakan feminisme dan gerakan 1960-an.
Bagian ini sesungguhnya, menurut Dian, sebuah persoalan ini masih beresonansi di Indonesia sampai sekarang.
Sayang sekali jika para kritikus sastra terlalu asyik menghubungkan karya-karya dan kehidupan nyata Sylvia Plath--bersuamikan penyair Ted Hughes dan beranak dua orang--yang pada akhirnya menghabiskan nyawa sendiri beberapa lama setelah novel ini terbit.
Bukan saja novelnya yang dia akui sebagai Roman a clef--sebuah karya yang ditulis berdasarkan kisah nyata dan orang-orang nyata dengan perubahan nama dan tempat-–tetapi puisi-puisinya juga menampilkan kegelapan dan kekelaman jiwanya.
Padahal semua kumpulan puisi dan novelnya sangat berhak untuk dikritik sebagai karya yang berdiri sendiri di luar kehidupan nyata penulisnya.
"The Bell Jar", seperti diutarakan Dian Sastrowardoyo seperti sebuah metafora situasi depresi Esther yang diungkapkan dengan jenius.
Menurut Dian, "Esther menggambarkan dirinya terisolasi dari dunia sehingga mendistorsi pandangannya terhadap dunia". Salah satu contoh ungkapan itu adalah, "Stewing in my own sour air under the jar".
Titik terendah dalam hidup Esther adalah karena dia merasa terjebak di dalam bayangan kelam yang depresif.
Bagaimanapun, khusus di dalam novel ini, Sylvia Plath mencoba memberikan setitik harapan pada hidup Esther.
Setelah Esther keluar dari rumah sakit jiwa , dia digambarkan lebih "hidup", lebih bersikap positif dan mencoba cerah.
Pembahasan novel "The Bell Jar" karya Sylvia Plath bersama Dian Sastrowardoyo ini bisa didengarkan di Spotify mulai Rabu (10/2/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.