Ia menyebut bahwa karakter pohon adalah paling tepat untuk Mauritius. Menimbang bahwa iklim tropis yang hangat dengan angin siklon berkecepatan 160 km perjam di Mauritous, layak sebagai pertimbangan teknis pertama untuk membangun desain.
Maka, bentuk desain menimbang tantangan alam ini secara detil dalam perspektif materi, termasuk merancang struktur dengan kemiringan derajat keseluruhan bangunan. Seperti pohon, rancangan bangunan semestinya tegak berdiri menyetubuhi alam.
Pohon sebagai saripati kehidupan dari banyak sistem kepercayaan dan kultur di Asia dan Afrika akan membawa akar desain membumi, sebagai narasi bertumbuh dewasa dari tanah, dari bumi lokal.
Mauritius mengakrabi hampir seluruh kultur di bumi, seperti Asia dengan perayaan tahunan Imlek, etnis Tionghoa dengan jumlah signifikan ada di sana. Selain itu, Mauritius juga memiliki penganut Hindu terbanyak dari luar India serta umat Muslim populasinya lumayan jumlahnya.
Sementara peradaban Barat dengan umat Kristiani tersebab masa lalu era kedatangan Belanda, Inggris dan Perancis serta akulturasinya dengan kultur Creole Afrika dan suku-suku asli menampak kuat di sana.
Mauritius dengan aset multikultural ini memiliki interdependensi politik, meski tak harus seperti Afrika Selatan dengan mempertahankan secara dejure dengan negara Inggris Raya.
Kembali ke pohon, sebagai pokok pangkal desain; bentuk visual berupa geometri huruf V adalah proses stilisasi imej pohon yang beritikad memberi bagian visualisasi runcing—sebagian bangunan-- yang mengarah pada lokasi Taman Botani besar di kompleks Beau Plan kota mandiri itu.
Pertimbangan berikutnya, rancang desain akhirnya mengerucut pada pembuatan courtyard dan segera “taman botani mini” seolah dipindahkan pada pusat bangunan Mediacity Mauritius, tepat di tengah-tengah sebagai semacam “pusat semesta” bangunan dengan atmosfir hijau pepohonan.
Pohon dan Taman Botani itu mengingatkan akan konsep keberlanjutan dalam desain arsitektural yang segera menerbangkan benak pada kemajemukan hutan dan pohon pun zat ekstraktifnya di Indonesia, yakni karet.
“Karet saya pilih sebagai simbol keberlanjutan, sebab usai disadap, selain benih pohon yang ditanam ulang, maka batang-tubuhnya tentu telah menjadi sampah. Prinsip keberlanjutan kemudian muncul, dan saya akan bawa materi khusus pohon karet yang telah tersadap getahnya ini dari Indonesia ke Afrika," kata Glenn.
Sebab selain secara artistik warnamya yang pucat, karet juga simbol iklim tropikal yang keberlanjutan dengan alam yang wajib dijaga. Sisi komoditas pada karet yang bermanfaat bagi manusia menjadi pertimbangan lain,” ujar Glenn menambahkan.
Arsitek berusia 42 tahun ini juga yakin bahwa pohon karet adalah yang membawa kepekaan cita rasa lokal Indonesia yang kuat di negara Mauritius.
Dalam wawancara yang intim dan terbuka, Glenn mengaku terus terang bahwa ide dasar desain-desainnya selalu terinsprasi oleh mentor imajinatifnya, yakni Louis Isadore Kahn.
Sebagai alumni Universitas di Philadelphia, AS, yang mana Kahn pernah mengajar, Glenn terpikat pada kritikus dan arsitek sekaligus seorang profesor di departemen arsitektur di the School of Design at the University of Pennsylvania yang memberinya ide tak habis-habisnya tentang desain modern.
“Kahn memang memberi pendekatan sebuah gaya yang tak hanya monumental dan monolitik, bak sebuah karya seni patung. Namun, ia memberi penekanan bagaimana sebuah bangunan menimbang materi, beratnya, konstruksi detil dan mengaitkannya secara elok dari sisi seni, seperti kita menikmati sebentuk puisi bangunan” sergah Glenn.