Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Frasa Belahan Jiwa atau Soul Mate ternyata Tak Melulu Seromantis Pemakaian Sekarang

Kompas.com - 31/07/2021, 16:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Nah, jawabannya mungkin agak tidak terbayangkan. Frasa ini ternyata diklaim muncul pertama kali dari Plato. Iya, filsuf Yunani kuno.

Ide ini muncul dalam salah satu karya Plato, Simposium. Menggunakan sosok Aristophanes sebagai penutur di bagian soal ini, manusia pada awalnya adalah sosok dengan empat tangan, empat kaki, dan dua wajah.

Di situ, Plato tengah mengurai soal konsep gender dan relasi dalam konsep manusia. Ada tiga alternatif konsep. Salah satunya disebut sebagai androgini (androgynous).

Menggunakan mitos, dikisahkan bahwa manusia yang versi ini dikhawatirkan melakukan pemberontakan ke Zeus, dewa terkuat dalam mitos Yunani. Versi lain disebut sudah terjadi pemberontakan. 

Si manusia tadi kalah atau setidaknya jadi ancaman buat kekuasaan, ceritanya. Intinya, Zeus mengutuk sosok dengan empat tangan, empat kaki, dan dua wajah itu dengan membelahnya menjadi dua bagian.

Sejak itulah, konon, dua belahan manusia itu pun dikutuk saling mencari untuk menjadi kembali utuh.

Sebentar, belum selesai. Plato menyematkan pula dalam karyanya yang lain bahwa frasa soul mate sebagai gagasan yang tak matang ketika dikaitkan dengan relasi apalagi rasa hati.

Menurut Plato dalam versi ini, relasi yang matang atau dewasa haruslah dimulai dari kesadaran bahwa setiap kita yang terlibat dalam relasi itu adalah individu yang sepenuhnya mandiri, yang kita mampu merawat kemandirian itu, dan karenanya pun tidak terlalu lekat satu sama lain.

Bagi Ryan Chistensen, yang pada 2014 adalah asisten profesor filsafat di Brigham Young University, Amerika Serikat, pendapat Plato terasa lebih relevan belakangan ini ketika dikaitkan dengan fenomena kesepian.

Menurut Christensen, yang Plato ingin bilang bahwa semata menemukan belahan jiwa yang terpisah karena kutukan Zeus itu bukan berarti kesepian akan terangkat dari dalam diri manusia.

Karena, sejatinya tak ada pasangan yang benar-benar tepat dan cocok, apalagi bila landasan relasinya rapuh.

Dia mendefinisikan kesepian bukan sekadar rasa sepi dan ingin ada seseorang mendampingi, melainkan sebuah pengalaman serasa menjadi alien dan gagal memahami manusia lain di sekitarnya.

Di sinilah, kata Christensen, konteks soul mate Plato lebih relevan, yaitu ketika seseorang bertemu orang lain yang benar-benar dapat saling berelasi sempurna seolah-olah mereka memang satu orang.

Ini enggak terasa lagi bahwa frasa belahan jiwa terbatas untuk urusan cinta dan menye-menye lagi ya.... Meskipun, urusannya memang semakin rumit kalau relasinya berbasis rasa hati.

“(Dalam hal cinta), satu orang harus menjadi orang lain (yang dicintainya itu), yang menginginkan orang lain itu laiknya sebagai dirinya sendiri.”

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau