TENGOKLAH marketplace. Perhatikan buku-buku yang ingin Anda beli ternyata berharga sangat murah sekitar Rp 10.000 sampai Rp 20.000, meski harga resmi di toko buku atau toko buku online resmi mungkin adalah Rp 80.000 hingga Rp 100.000.
Buku-buku yang super murah itu hampir pasti adalah buku bajakan.
Apa bedanya buku bajakan dengan buku asli yang diterbitkan dari penerbit resmi?
Dari sisi penampilan buku bajakan sudah pasti jauh lebih buruk: isi sering merupakan hasil fotokopi dengan sampul wajah yang juga merupakan fotokopi berwarna; atau hasil cetak yang mutunya jauh lebih rendah daripada buku asli.
Buku bajakan jelas adalah sebuah produk hasil pencurian karena buku itu diproduksi kembali oleh pihak pembajak tanpa izin.
Para pembajak ini mampu mengambil keuntungan besar--besarnya tanpa mengeluarkan ongkos besar, persis tanaman parasit yang menemplok di pohon besar dan menghirup segala yang ada di dalam pohon itu.
Pada dasarnya, para pembajak buku mengambil hak ekonomi para penulis, penerbit, editor, ilustrator dan mereka yang bekerja untuk menghasilkan buku tersebut.
Di marketplace mereka menyebutnya dengan istilah-istilah euphemisme: KW, repro, copy original, "buku berkualitas harga terjangkau", non-ori. Pendeknya: istilah-istilah yang membuat pembelinya tak terlalu merasa berdosa.
Kali ini podcast "Coming Home with Leila Chudori" musim tayang ke 7 mengundang Wandi Brata , Direktur grup penerbitan Gramedia dan Haidar Bagir, Direktur Utama Mizan Grup, untuk membahas persoalan yang sudah bak kanker yang menggerogoti kehidupan industri buku di Indonesia.
Kedua narasumber dalam acara ini terdengar antara jengkel, marah sekaligus –menggunakan bahasa Haidar Bagir tak henti "mengelus dada" menyaksikan bagaimana industri pembajakan buku Indonesia sudah menjadi industri jauh lebih besar dan beruntung hingga triliunan rupiah.
Para pembajak, menurut Wandi Brata, "Hanya ingin duit. Jadi yang mereka lakukan hanya membuat daftar judul buku yang laku keras dari berbagai penerbit. Mereka tidak membayar ongkos apapun, tak bayar royalti, tak bayar pajak, tak harus mengeluarkan ongkos apa pun kecuali kertas saja. Jadi jangan heran kalau mereka jauh lebih kaya raya daripada penerbit dan penulisnya."
Menurut Wandi dan Haidar , Indonesia sudah mempunyai payung hukum yang sebetulnya cukup bisa melindungi hak para penulis.
Jika kita membuka setiap buku yang kita beli, pasti UU Hak Cipta disebutkan pada halaman awal buku.
Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta menyebutkan, setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.
Hukuman bagi pelanggar hak cipta juga tidak main-main, yaitu penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar.