Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Parasit Bernama Para Pembajak Buku

Kompas.com - 29/09/2021, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di mana letak masalahnya sehingga industri pembajakan buku sangat subur dan sulit ditekan?

Menurut Wandi Brata, salah satu problemnya adalah soal pembajakan itu adalah delik aduan, sehingga jika ada yang merasa dirugikan dan mengadu ke polisi, barulah kemudian diproses.

Idealnya jika memang peduli dengan persoalan pembajakan, maka kita memang harus mengupayakan delik aduan ini bisa berubah menjadi pidana.

Untuk melakukannya, menurut Haidar Bagir, prosesnya panjang dan bakal memakan waktu yang lama.

Problem lain adalah kesadaran masyarakat. Menurut Wandi Brata, surat edaran yang dikeluarkan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2016 memisahkan tanggung jawab marketplace dan pelapak.

Artinya, para pemilik marketplace dilepaskan dari tanggungjawab terhadap barang-barang yang dijual pelapak (termasuk jika benda itu adalah barang bajakan).

"Itu kan seperti sebuah supermarket online, seharusnya pemilik marketplace juga harus bertanggung jawab atas legalitas apapun yang dijual para pelapak," kata Wandi.

Tentu saja diakui, bahwa sesekali pihak yang berwajib pernah menangkap pembajak buku di Jawa Tengah yang, setelah diperiksa, sudah luar biasa hidup makmur dari bisnis buku bajakan itu.

Namun, masih banyak parasit lain yang asyik berjualan dengan menempel pada produk orang lain dan hidup sentosa tanpa gangguan siapa pun.

Penulis, ilustrator, komikus dan penerbit, selain marah dan jengkel, hanya bisa merasa putus asa karena pemerintah lebih sibuk dengan persoalan yang dianggap "lebih besar".

Bagaimana dengan masyarakat penggemar buku? Mengapa mereka tetap lebih suka membeli buku bajakan? Ada yang beralasan karena buku sangat mahal (sembari memegang ponsel seharga Rp 16 juta).

Alasan lain adalah mereka terjebak dengan bahasa euphemisme seperti kata "repro", copy original, dan seterusnya yang sangat menyesatkan dan membuat calon pembeli tak merasa ikut menjadi bagian dari lingkaran itu.

Salah seorang penulis mengatakan bahwa mereka yang membeli buku bajakan, sadar atau tak sadar, sudah ikut mencuri hak hidup dan hak ekonomi penulisnya.

Dengan persoalan sebesar ini--yang menurut Haidar Bagir sudah berlangsung puluhan tahun meski presidennya sudah berganti-ganti--akan sangat lama mengharapkan Indonesia menjadi negara yang mempunyai kemampuan literasi yang tinggi.

Kemampuan literasi tinggi bukan sekadar kemampuan membaca, menulis, tetapi juga moral dalam menghargai ciptaan apa yang dibacanya itu.

Bagaimanapun, Wandi Brata menambahkan bahwa dia tak ingin berputus asa dulu karena beberapa waktu lalu, Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengadakan pertemuan persoalan pembajakan buku.

Salah satu yang dibahas adalah dengan berdirinya satgas penanggulangan pembajakan di marketplace.

"Kita nantikan dengan seksama kiprah satgas ini," demikian Wandi Brata.

Pembahasan seru soal Anti Buku Bajakan ini bisa Anda dengarkan Rabu 29 September 2021 di Spotify dan platform lain. Atau, bisa juga dengan memutarnya pada bagian di bawah ini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com