Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film Nasional Belum Bangkit

Kompas.com - 31/03/2015, 15:50 WIB
JAKARTA, KOMPAS -- Insan perfilman merayakan Hari Film Nasional Ke-65 dengan beragam acara, termasuk bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara di Jakarta, Senin (30/3). Semua itu memperlihatkan hasrat agar karya-karya Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri sekaligus memecah dominasi film-film Hollywood.

Hari Film Nasional merujuk pada waktu pengambilan gambar (shooting) pertama film Darah dan Doa karya sutradara Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. Pada perayaan kali ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan anggaran Rp 2,3 miliar untuk berkampanye "Ayo Nonton Film Indonesia". Untuk itu, acara menonton bioskop keliling digelar di sejumlah daerah dan mengajak kerja sama bioskop-bioskop arus utama untuk memutar film Indonesia sehari pada Senin lalu.

Semua bioskop Cinema XXI memutar film-film dalam negeri, seperti Arisan, Soekarno, hingga Kapan Kawin. Khusus film lokal, penonton dapat tawaran membeli 1 tiket mendapat 2 tiket.

Acara "Ayo Nonton Film Indonesia" juga digelar di Istana Negara sejak Senin, pukul 18.30, dengan dipandu aktor Reza Rahadian dan dihadiri ratusan tokoh film. Ada juga penayangan film Cahaya dari Timur (karya Angga Dwimas Sasongko, peraih Piala Citra tahun 2014). Pemerintah memberikan penghargaan kepada sejumlah sineas.

Presiden Joko Widodo menyampaikan, Indonesia memiliki pasar film yang sangat besar. Jangan sampai pasar itu dikuasai industri film asing. "Sebelum menonton film asing, mari kita tonton film Indonesia. Ayo nonton film indonesia," katanya.

Petisi

Saat bersamaan, Dewan Kreatif Rakyat mengeluarkan petisi nasional "Jadikan Film Nasional Tuan Rumah di Negeri Sendiri" dan memperoleh 14.000 dukungan. Petisi berisi delapan seruan agar pemerintah melakukan sejumlah terobosan untuk mendukung film nasional. Itu antara lain mencakup perlindungan, pemberian insentif, dan pemberian hak tayang kepada film nasional, serta penghentian praktik mafia perfilman.

Pemerintah juga diminta mengatur harga tiket film nasional lebih murah daripada film asing. Penting pula mengadakan hari wajib tayang film nasional dan mendukung kelahiran film-film bermutu. "Tidak adil memberikan tarif sama kepada film impor yang modalnya triliunan rupiah dengan film nasional yang hanya miliaran rupiah," ujar Damian Dematra, sutradara film penggagas petisi tersebut.

Masih terpuruk

Di balik hiruk pikuk perayaan itu, kondisi film nasional masih terpuruk dan masih belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia mencatat, sejak 2010 jumlah penonton film nasional turun. Pada 2010, jumlah penonton film nasional 16,8 juta orang, lalu turun menjadi 16,2 juta (2011), 15,7 juta orang (2012), 15 juta orang (2013), dan sedikit meningkat jadi 15,2 juta orang pada 2014.

Jumlah tersebut tak berbanding lurus dengan peningkatan produksi film nasional. Pada 2010, produksi film nasional sebanyak 74 film, lalu 80 film (2011), 87 film (2012), 100 film (2013), dan 113 film pada 2014.

"Di kota-kota besar, film-film impor Amerika Serikat mendominasi hingga 70 persen, tetapi tak bisa masuk ke daerah-daerah kecil. Film nasional laku. Namun, karena dibombardir dengan tema-tema sama seperti horor, misalnya, pasarnya jeblok," kata Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia Djonny Syafruddin.

Menurut pengamat film Yan Wijaya, jumlah film impor pada 2014 adalah 270 film, terutama dari Hollywood, AS. Jumlah ini lebih banyak daripada produksi nasional. "Tak ada jaminan, film bagus pasti penontonnya banyak atau sebaliknya. Film disebut bagus dan buruk masih diperdebatkan. Selera pasar pun masih mengambang," katanya.

Kritikus dan pengamat budaya populer Hikmat Darmawan mengatakan, para pembuat film yang meyakini bahwa film bagus akan diterima masyarakat biasanya sibuk dengan definisi bagus menurut mereka sendiri. Begitu pun dengan selera pasar. Karena itu, pembuat film sebaiknya lebih terlibat dalam kehidupan masyarakat sehingga berkarya dengan menyerap aneka suara masyarakat. (IVV/ABK/NAD)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com