April 2017, sutradara Hanung Bramantyo merilis film "Kartini" yang dibintangi oleh artis Dian Sastro. Bagi saya, karya Hanung ini cukup baik menjembatani semangat Kartini dengan generasi kekinian.
Bukan karena Dian yang memerankan Kartini dengan lumayan baik. Namun karena pemikiran Kartini sesungguhnya bisa menjadi kunci memahami problem kita sebagai bangsa hari ini.
Respons terbaik dalam menghadapi angkara murka dan kegilaan zaman adalah dengan kejernihan pikir, kelembutan hati, keteguhan karakter, dan cinta kasih.
Kartini di penghujung abad 19 itu adalah sosok pemikir muda revolusioner yang melampaui zamannya. Ia mengkritik praktik-praktik feodal yang telah menindas kaum perempuan sebangsanya.
Ia juga menolak sistem liberalisme dan praktik ekonomi kapitalis saat itu yang merenggut kehormatan dan mengeksploitasi rakyat jajahan.
Kartini memuji gagasan-gagasan etik dan modern dari Barat, namun ia tak menginginkan bangsa yang dicintainya menjadi Barat serta-merta. Bagi Kartini, bangsanya harus tetap berpegang teguh pada kepribadiannya sendiri. Kartini membanggakan sifat-sifat asli bangsanya yang sejatinya agung dan halus.
Kepada Estell ‘Stella’ Zeehandelaar, seorang feminis Belanda yang juga sahabat penanya, Kartini menjelaskan betapa tinggi keindahan dan ketulusan yang dapat didengar dari rakyat bangsanya.
"Kebijaksanaan, kenyataan yang begitu jernih, dinyatakan dengan kata-kata yang sangat sederhana tetapi indah! Kami adalah demikian dekat kepada alam, asal dari segala-segalanya. Filsafat kami bukan pemikiran yang susah payah untuk dimengerti. Kata-katanya sederhana, tetapi betapa indah suara dan iramanya. Makin mendalam aku menyelami jiwa rakyatku, makin yakin aku keagungannya. Pada bangsamu orang-orang bijaksana dan pujangga hanya terdapat di kalangan tertentu, dan kebudayaan juga di klas-klas tertentu. Tetapi rakyat umumnya – bolehlah aku mengatakannya? – adalah kasar ..."
Pandangan Kartini terhadap Barat ini tentu tak lepas dari pengalamannya dalam menghadapi praktik kolonialisme yang saat itu tengah mencapai puncak dominasi dan eksploitasinya di Hindia Belanda.
Kartini hidup dan terjepit pada saat berlangsung bentrokan aliran pemikiran feodalisme vs modernisme. Bagi Kartini yang gundah, arus imperialisme modern yang datang dari Barat, bermuka dua.