Selain
Saat membuat Gie saya sedikit belajar tentang betapa beratnya tantangan membuat film sejarah. Dalam film sejarah, selain butuh riset cerita, kita juga butuh dana begitu besar dalam menciptakan visualisasi masa lalu. Hampir semua produksi film di Indonesia memiliki dana terbatas karena pasar atau distribusi film yang terbatas. Walaupun film Gie adalah salah satu film Indonesia termahal waktu itu, kami tetap harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikannya. Kalau saya bikin film tentang sejarah proklamasi atau kisah Sultan Hasanuddin, misalnya, mungkin lebih mudah. Tapi kalau saya tertarik dengan tokoh Tan Malaka atau Nyoto? Siapa yang ingin membiayai?
Menurut Anda sejauh apa pengaruh dunia perfilman kita terhadap dunia politik, kalau bisa buat suatu film yang bercerita tentang dunia politik khusus pada zaman Soeharto biar semua orang tahu sejarah.
Justru selama bertahun-tahun melalui kebijakan pemerintah Orde Baru yang melahirkan Undang-Undang Perfilman, film Indonesia diarahkan agar bersifat apolitis. Jika Anda membaca UU Perfilman tahun 1992 tersebut, film Indonesia didikte keberadaannya sesuai dengan keinginan pemerintah, bahkan dalam pandangan pribadi saya bertentangan dengan konstitusi kita. Karena pada dasarnya konstitusi kita melindungi kebebasan berekspresi. Soal sensor misalnya, dalam UU Perfilman, sensor film tidak hanya mengatur soal pornografi, tetapi juga aspek lain, termasuk politik. Nah, jika demikian sulit membayangkan film bisa menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi maupun ekspresi seni, hingga bisa menjadi agen perubahan. Karena film di Indonesia pada prinsipnya terkekang olah aturan yang adalah produk dari pemerintahan yang otoriter (Orde Baru Soeharto).
Apakah perfilman nasional saat ini telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendahulu Anda, misalnya keinginan Bapak H Usmar Ismail yang menginginkan bahwa film juga digunakan sebagai alat untuk membentuk karakter bangsa? Yoseph Setiawan Cahyadi, Grogol, Jakarta Barat
Saya yakin Usmar Ismail bisa menangis jika melihat kondisi perfilman kita hari ini. Yang paling utama adalah karena bangsa ini menyia-nyiakan potensi yang begitu besar dari perfilman nasional seperti yang Anda katakan. Film bisa menjadi (salah satu) pembentuk karakter bangsa, ada film nasional yang ditonton (dan menyentuh hati) lima juta penonton di Indonesia, jika dibuat dengan baik dan mengandung pesan antikorupsi misalnya film bisa berperan penuh. Belum lagi kalau melihat potensi ekonominya.
Kenapa film Indonesia suka latah? Seperti film horor yang tak terhitung banyaknya. Sampai nek’ membaca judulnya saja. Kenapa tidak membuat film
Sebagian film Indonesia dibuat oleh pebisnis film, para pedagang. Adalah sifat umum dalam berdagang untuk melayani keinginan pasar.
Mas Riri termasuk sutradara yang amat menjunjung tinggi nilai tanggung jawab sosial dan sangat idealis dalam membuat sebuah film, pernahkah sewaktu Anda membuat film terkendala masalah