Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waljinah Legenda Si "Walang Kekek"

Kompas.com - 21/03/2010, 11:50 WIB

Tapi, ia mungkin juga belajar dari sang ibu yang selalu mengantarkan tidur anaknya dengan tembang-tembang. ”Sejak kecil kalau mau tidur, saya dininabobokan dengan tembang-tembang macapat. Saya inget sekali tembang ”Dandang Gula” yang sering dinyanyikan ibu. Itu mengapa sejak kecil saya suka sekali nembang macapat. Waktu kelas empat SD, saya juara pertama lomba nembang di Solo.”

Kemampuan nyanyi Waljinah pertama didengar oleh kakaknya, Munadi, yang memang seorang penyanyi keroncong. ”Saya kalau mandi kan sambil nyanyi. Kakak saya dengar. ’Lho kowe kok iso’ nyanyi keroncong—kamu kok bisa menyanyi keroncong,” kata Waljinah menirukan keheranan sang kakak.

”Saya dibimbing dan diajak latihan. Kalau latihan, saya harus melompat jendela lalu digendong kakak. Saya latihan dari kampung ke kampung yang mempunyai kelompok orkes keroncong. Umur saya masih 12 tahun dan sudah jadi penyanyi.”

”Saya belajar sendiri dengan cara mendengar. Waktu itu di RRI Solo ada penyanyi yang saya sukai, yaitu Maryati dan Sayekti. Saya belajar dari mereka.”

Cengkok Jawa dalam cara nyanyi Waljinah adalah pengaruh kuat kebiasaan menembang macapat semasa kecil. Selain itu, ia juga sangat akrab dengan olah vokal pada karawitan Jawa. ”Saya juga belajar dari Nyi Podang. Saya seneng banget dengan suaranya. Dari Nyi Podang saya belajar gregel (kelak-kelok suara),” kata Waljinah menyebut nama pesinden yang suaranya terkenal lewat siaran karawitan di RRI Solo.

Anda juga menyinden di pergelaran wayang kulit?

”Saya bukan pesinden. Di wayang kulit posisi saya bukan sebagai pesinden, tapi bintang tamu yang menyanyi langgam. Ada satu dua gending yang bisa saya bawakan, misalnya ’Jineman’ itu kan mudah dan seperti langgam. Juga bowo (bagian solo dari satu komposisi). Tapi, kalau nyinden saya enggak mau karena bisa merusak cara saya menyanyi langgam, karena artikulasinya berbeda.”

Wayang kulit

Saat pergelaran wayang kulit memerlukan pembaruan kemasan pada akhir 1980-an, Waljinah dilibatkan. Sejumlah pemerhati wayang kulit kala itu berkumpul di rumah dalang Ki Anom Suroto di Kampung Notodiningratan, Solo. ”Waktu itu Gubernur (Jawa Tengah) Ismail ingin agar wayang ditonton anak muda. Kami mencari terobosan dengan menggunakan bintang tamu. Saya yang pertama diajak sebagai bintang tamu.”

Waljinah turut memberi kontribusi perubahan dalam dunia persindenan, terutama pada pentas wayang kulit. Ia antara lain mengajak para sinden untuk berdandan agar menarik dilihat penonton.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com