Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

The Look of Silence: Dan Senyap Pun Mengetuk

Kompas.com - 07/09/2014, 16:32 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Sutradara film The Act of Killing, Joshua Oppenheimer, kembali menyuguhkan film tentang pembantaian 1965-1966. Film itu, The Look of Silence, memberi gambaran beratnya beban kemanusiaan keluarga algojo "membaca" pembantaian 1965. Terlebih beban "dosa sejarah" yang terus dilekatkan kepada penyintas dan keluarga mereka.

The Look of Silence adalah sebenar-benarnya film sekandung The Act of Killing atau Jagal. Namun, film terbaru Oppenheimer itu memilih cara bertutur yang sama sekali berbeda dari Jagal.

Jagal hadir bak sebuah perayaan pembantaian 1965 yang diperkirakan menewaskan 300.000 hingga 2,5 juta jiwa. Jagal mencokolkan pertanyaan, kenapa seorang pembunuh bisa bangga mengisahkan laku membunuh entah berapa manusia? Alasan pemaaf seperti apa yang melingkupi mereka hingga berpuluh tahun mereka merasa diri pahlawan?

Tidakkah para pembunuh itu sebagai anak manusia bersua dengan para penyintas—anak manusia lain yang dicap "komunis" dan selamat dari pembantaian 1965? Pada pertanyaan terakhir itulah The Look of Silence bertutur.

The Look of Silence yang dalam bahasa Indonesia berjudul Senyap adalah film dokumenter tentang Adi. Tukang kacamata keliling itu adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan "tidak bersih lingkungan" karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.

Di tengah proses itu, terjadi intimidasi kepada para penyintas. Mereka diminta diam dan tidak memberi kesaksian kepada Oppenheimer. Para penyintas mencari siasat, lalu mendesak Oppenheimer mewawancarai sejumlah tokoh yang terlibat pembantaian itu, yang mungkin akan menceritakan sendiri pembantaian mereka.

Oppenheimer ragu siasat itu bisa berjalan, dan menjadi terkejut ketika ternyata mereka yang terlibat pembantaian 1965-1966 bangga menceritakan bagaimana mereka membunuh para korban. Siasat di tengah jalan itulah yang melahirkan film Jagal yang diluncurkan mendahului Senyap.

Setegang fiksi
Oppenheimer melanjutkan proyek film dokumentasi kesaksian para penyintas dengan menunjukkan rekaman wawancara itu kepada Adi. Dalam Senyap, tampak Adi menonton kesaksian para pembunuh. Adi tercenung, diam, tetapi terus menonton rekaman wawancara yang diabadikan pada April 2003 yang memperlihatkan orang yang tertawa-tawa bangga mengisahkan "kepahlawanan" mereka membunuh.

Adi mencoba memahami kejumawaan "para pahlawan" pembantaian 1965-1966.

"Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa," ujar Adi lirih.

Oppenheimer juga bertemu dengan dua orang yang mengaku sebagai pembunuh Ramli. Keduanya, Amir Hasan dan Inong, memperagakan bagaimana mereka membunuh Ramli di pinggiran Sungai Ular. Film dokumenter itu menjadi setegang film fiksi, ketika menyuguhkan adegan Adi menemui Inong, menawarkan kacamata untuk mata Inong yang rabun.

Sambil mencari ukuran lensa kacamata yang cocok untuk mata Inong, Adi bertanya masa lalu Inong. Adi terus mengejar, memantik marah Inong.

"Maksud saudara bertanya apa? Saudara menanyakan terlalu dalam. Bicara soal politik, saya tidak suka."

Inong begitu marah dan meminta Oppenheimer berhenti merekam pertemuan itu. Wajahnya menegang dengan tatapan hampa. Bukan hanya marah yang muncul dari adegan itu. Terasakan, penyangkalan Inong atas sesal adalah jalan, mungkin satu-satunya jalan Inong, untuk melanjutkan hidup.

Kemarahan juga tercuat ketika Adi menemui keluarga almarhum Amir Hasan. Dua anak Amir Hasan marah mendengar Adi menuturkan isi buku Embun Berdarah karangan ayah mereka yang merinci pembunuhan 32 korban pembantaian, termasuk Ramli. Kisah pahlawan yang ditulis sang ayah tiba-tiba terasakan menjadi tuduhan ketika dituturkan Adi, adik Ramli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau