Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

The Look of Silence: Dan Senyap Pun Mengetuk

Kompas.com - 07/09/2014, 16:32 WIB

"Sekarang ini terbuka luka. Dikarenakan Joshua lah, mengambil ini semua, data mendiang pun dibukakan sejarahnya semua, akhirnya terbuka. Kalau tidak, mana adik (Adi) tahu sama kami, kan?" Salah satu putra Amir Hasan bertanya kepada Adi.

"Tahu," jawab Adi.

"Tahu, aku tahu persis keluarga ini. Siapa saja yang keluarganya dibunuh pasti ingat. Tapi ingat bukan dalam artian dendam."

Istri Amir Hasan dengan sepenuh hati berujar lembut, meminta maaf Adi.

Bagi masa depan
Untuk apa mengungkit sesuatu yang telah berlalu, itulah yang dinyatakan Inong, keluarga Amir Hasan, juga sejumlah tokoh pembantaian 1965-1966 lain yang bersuara dalam Senyap. Mengungkit yang lalu mengoyak luka lama. Senyap secara tak terduga menuturkan bahwa mereka yang membunuh pun terluka, melukai kemanusiaan mereka. Luka itu mereka lupakan dengan penyangkalan dan euforia kepahlawanan yang rapuh.

Senyap juga menuturkan bahwa Adi—berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga penyintas lainnya—masih dilukai hingga luka itu terus basah. Luka Adi basah menerima pertanyaan anaknya yang pulang sekolah, mengisahkan cerita guru mereka tentang kekejaman PKI. Adi bersabar menjelaskan sejarah keluarga dan sejarah Indonesia kepada sang anak. Adi marah, belajar tidak mendendam, tetapi negara terus mengoyak lukanya.

Oppenheimer mengibaratkan Senyap sebagai puisi tentang kesenyapan.

"Puisi tentang kesenyapan yang lahir dari teror, sebuah puisi tentang pentingnya memecah kesenyapan itu, tetapi juga tentang trauma yang datang ketika kesenyapan itu dipecahkan. Kita harus berhenti, mengakui kehidupan yang telah dihancurkan, dan memaksa diri untuk mendengarkan kesenyapan yang menyusulnya," ujar sang sutradara.

Kerendahan hati menjadi kunci mendengar kesenyapan itu. Kerendahan hati Adi berikut ratusan ribu hingga jutaan keluarga yang menjadi korban pembantaian 1965-1966, kerendahan hati orang-orang seperti Inong dan keluarga Amir Hasan, ataupun kerendahan hati negara. Senyap sudah mengetuk, akankah kita menoleh dan berdiam sejenak? (Aryo Wisanggeni G)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau