Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Indonesia di "Idenesia"

Kompas.com - 11/01/2015, 14:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Idenesia, program acara budaya yang ditayangkan Metro TV pada setiap Kamis pukul 22.30, mencoba merobohkan kesan tayangan budaya yang "berat". Dalam menyajikan menu-menu budaya Tanah Air, Idenesia tampil bersahaja, tetapi informatif.

Dalam tayangan pada Kamis (8/1/2015) malam, Idenesia mengangkat tajuk "Wastra Nusantara". Tayangan berdurasi 30 menit tersebut merupakan kompilasi dari tayangan-tayangan Idenesia sebelumnya yang bertutur tentang wastra (kain) dari beberapa daerah di Tanah Air.

Acara dipandu oleh musisi Yovie Widianto, berpasangan dengan Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renita Sari. Sajian tentang wastra Nusantara diawali dari kisah tentang kain batik Kudus, Jawa Tengah, lalu tentang kain tenun endek di Bali, kain tenun ikat Sengkang di Sulawesi Selatan, kain batik Cirebon di Jawa Barat, dan terakhir kain batik Minahasa di Sulawesi Utara.

Kelima segmen tayangan tersebut diambil di sentra-sentra perajin, seperti Galeri Batik Kudus di Kota Kudus yang merupakan binaan Djarum Foundation, Rumah Batik Komar, dan Wale Batik Minahasa. Gambar-gambar yang ditayangkan adalah gambar-gambar indah tentang lembar-lembar batik dan tenun di sentra perajin.

Disajikan proses kerja seorang pembatik dan petenun yang berada di sentra perajin tersebut. Saat ini cukup lumrah di setiap sentra batik dan tenun, orang bisa datang menyaksikan cara pembuatan batik atau tenun serta mencoba mempraktikannya. Di segmen batik Kudus, penonton dapat menyaksikan Yovie yang menjajal menorehkan malam dari canting di atas selembar kain.

Santai, informatif
Selain gambar-gambar indah, informasi digali dalam format tanya jawab oleh Yovie dan Renita secara sederhana, layaknya orang yang baru pertama kali menyaksikan proses membatik atau menenun. Misalnya pertanyaan tentang bahan baku, motif-motif kain, serta hal-hal apa saja yang membedakan kekayaan kain tradisional kita dengan kain-kain buatan Tiongkok dan Thailand.

Keduanya kompak saling mengisi, melempar pertanyaan, tidak berusaha menggurui, serta menggunakan bahasa sehari-hari sehingga terkesan bersahaja. Pembawaan keduanya yang santai, tidak dibuat-buat dan tanpa beban, juga berpengaruh menciptakan kesan tayangan yang informatif, mudah dicerna.

Penampilan Yovie dan Renita yang santai, ibarat wisatawan, menjadikan tayangan terkesan ringan. Dalam beberapa kesempatan, Yovie tampil mengenakan celana sebatas lutut dan kaus. Demikian pula dengan Renita yang tampil mengenakan celana jins dan kaus. Ada kalanya, Yovie memadukan celana sebatas lututnya dengan kemeja batik atau tenun tangan pendek.

Renita menuturkan, format acara Idenesia, khususnya yang diambil di luar studio, sengaja dibuat santai dan mudah dimengerti.

"Kami buat se-real mungkin. Pertanyaan-pertanyaan juga spontan sebagai orang awam yang baru lihat proses tenun, misalnya. Kalau pakai bahasa 'dewa' pusing karena orang dengar kata budaya saja sudah menghindar," ujarnya.

Atas dasar itu, baik Renita maupun Yovie sepakat membawakan acara dengan cara yang lebih ngepop. Selain menayangkan acara dari lokasi, Idenesia yang digagas oleh Yovie sebagai Pendiri Pusat Study Indonesia Cerdas itu juga menayangkan berbagai hal yang disajikan dalam format wawancara studio. Seperti wawancara terhadap pelaku musik kolintang, penyanyi Heidy Yunus dan Mike Mohede, gitaris Balawan, serta Jogja Hip Hop Foundation. Formatnya tetap santai.

Dalam perkembangannya, sejak Idenesia bergandengan tangan dengan Galeri Indonesia Kaya (GIK), Idenesia kerap menampilkan para pelaku kesenian yang akan tampil di GIK.

Tidak ada batasan
Produser Idenesia, Rosalina Theodora, menuturkan, secara umum, Idenesia yang telah tayang sejak tahun 2011 ini menyajikan tayangan tentang kesenian dan kebudayaan Nusantara secara menyeluruh.

"Saat shooting di satu daerah, misalnya, selain menyajikan sosok pelaku kesenian, kami juga angkat kekayaan kuliner daerah tersebut, sekaligus potensi ekonomi kreatifnya apakah kain atau musik khas daerah," kata Rosalina.

Sebagai contoh, saat mengangkat kesenian dan kebudayaan di Sumatera Barat, Idenesia menyajikan kisah Yayasan Amai Setia yang digagas oleh Rohana Kudus agar perempuan di Koto Gadang memiliki berbagai keterampilan. Saat shooting di Malang, Idenesia juga mengangkat soal Desa Cempluk yang merupakan kampung mandiri.

"Desa Cempluk ini bisa membangun kecintaan masyarakat terhadap seni dan budaya hingga memiliki festival seni budaya sendiri," ujar Rosalina.

Idenesia telah melalui beberapa perubahan jam tayang, dan saat ini tayang rutin setiap Kamis pukul 22.30. Menurut Renita, jam tayang saat ini cukup ideal mengingat sasaran Idenesia adalah masyarakat di kota-kota seperti Jakarta.

"Yang orang kerja dan macet di jalan, baru bisa nonton TV setelah pukul 9 malam," katanya.

Target penonton adalah di atas 21 tahun atau minimal first jobber.

Idenesia dirancang sebagai acara yang dapat memberi informasi tentang budaya di Tanah Air.

"Kami menghargai tokoh-tokoh atau pihak yang selama ini konsisten di bidang tersebut, dan sesuai namanya, Ide untuk Indonesia, bisa memberikan inspirasi bahwa profesi-profesi di bidang seni budaya kalau dijalani secara konsisten, juga punya masa depan," ujar Renita. (DWI AS SETIANINGSIH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com