Perjuangan para penyandang tunanetra yang menjadi tema film menggugat kesadaran bahwa para penyandang tunanetra adalah bagian masyarakat yang kerap luput dari perhatian.
Jingga juga menyuarakan pesan penting. Bahwa meski kondisi mereka sangat terbatas, penyandang tunanetra adalah para pejuang tangguh yang tak mudah menyerah dalam menjalani hidup.
Hal ini dapat disaksikan dari perjuangan Jingga ketika harus bangkit dari keterpurukannya.
Bagaimana dia harus belajar menjalani hari-harinya di sekolah, mulai dari menghitung setiap langkah menuju gerbang sekolah, ruang kelas, dan ruang kepala sekolah.
Bagaimana Jingga yang tak mampu melihat harus memanfaatkan inderanya yang lain untuk "melihat" segala sesuatu di sekitarnya.
Melatih indera perabanya untuk mengenali hal-hal di sekitarnya, juga melatih indera pendengarannya untuk membedakan segala bunyi-bunyian di sekitarnya yang akan memberinya berbagai petunjuk yang dia butuhkan.
Sungguh perjuangan yang tak mudah. Namun, Lola menggambarkan adegan-adegan itu dengan indah sekaligus kuat, tanpa hendak mengajak penonton bercengeng-cengeng.
Jingga adalah tentang semangat dan pergulatan hidup, bukan semata-mata kisah cinta anak SMA.
Akting para pemain yang sangat natural menambah kekuatan yang menghidupkan adegan-adegan yang disajikan dalam Jingga.
Penonton akan terpesona menyaksikan akting mereka yang begitu pas menggambarkan sosok penyandang tunanetra.
Lewat gerak tubuh mereka, seperti cara tertawa yang berbeda, cara menangis yang berbeda, termasuk cara mereka memandang hidup yang penuh optimisme menerima kekurangan mereka.
Melalui Jingga, penonton juga akan benar-benar melihat bahwa penyandang tunanetra tak berbeda dengan manusia lain ketika menghadapi dinamika hidup.
Kadang mereka sedih, tetapi jauh lebih sering bersikap positif menjalani kegelapan mereka. Di balik gelap, hidup mereka jauh lebih berwarna.