Merenungkan Kematian
Meski merupakan kuburan, tak ada aura menyeramkan mengunjungi Pere Lachaise. Pepohonan yang rindang dan gundukan batu nisan menawarkan keheningan yang menenteramkan.
Tempat ini seperti sebuah taman sunyi, tempat untuk sendiri. Beberapa orang terlihat duduk diam di sejumlah bangku taman yang tersebar di situ.
Kembali ke makam Morrison, meski sangat sederhana, ia terlihat paling semarak. Sejumlah bunga mawar beraneka warna bertebaran di atas makam itu. Dulu, nisan Morrison menjadi korban graffiti. Banyak coretan di sana-sini.
Kini, nisannya terlihat bersih. Ada pagar pembatas berjarak sekitar 3 meter dari makam itu yang membatasi pengunjung.
Pagar itulah yang kini menjadi luapan penggemar Morrison menyematkan tanda cinta mereka berupa gembok dan gelang tangan. Tak jauh dari sana, ada bilah-bilah bambu tempat para penggemarnya menempelkan permen karet.
Siang itu, sepasang kekasih tampak berdiri lama di tepi pagar. Tangan mereka saling merangkul di pinggang. Si wanita menyenderkan kepalanya di bahu si pria. Mereka sepertinya ingin mengenang bintang terang yang pernah ada, namun singkat hidupnya. Tinggal syair-syair yang hidup selamanya.
Syair-syair itu telah menjadi mantra yang menyatukan mereka yang mendamba kebebasan. Di situ saya masih merenungkan kata-kata Jim soal kehidupan dan kematian. “There are things known and things unknown, and in between are the doors.”
Kematian adalah pintu itu, penghubung antara yang kita ketahui dan tidak. Di situlah saya turut merasakan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Lebih pasti dari masa depan, seperti yang dikatakan Jim, “The future is uncertain but the end is always near.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.