Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

M Aan Mansyur Membangun Rumah Puisi

Kompas.com - 22/05/2016, 21:36 WIB

Mengurung diri
Aan adalah sulung dengan dua adik dari keluarga sederhana di Bone. Mereka hidup bersama ibunya, seorang penjual sayur, setelah ayahnya pergi dan tidak pernah kembali.

Saat bocah, ‎dia sering sakit-sakitan, pendiam, dan tidak punya banyak teman. ‎Anak itu mengurung diri dalam rumah.

Kebetulan di rumah ada koleksi buku kakeknya. Dia pun menenggelamkan diri membaca buku-buku itu.

Kecintaan Aan pada dunia tulis-menulis tumbuh saat itu. Aan pun belajar menulis dongeng atau cerita.

Sejak SD, Aan menulis cerita-cerita pendek. Kemampuan ini terus diasah saat SMP dan SMA.

Beberapa majalah atau tabloid anak dan remaja cukup sering menerbitkan tulisan Aan yang dikirimkan dengan berbagai nama samaran.

Honornya untuk menutup biaya sekolah.

Aan masih ingat, saat kelas II SMA, cerita pendek karyanya dimuat di majalah Anita Cemerlang di Jakarta. Honornya cukup besar.

"Honor satu cerpen bisa untuk traktir bakso untuk teman-teman satu kelas (40-an orang)," katanya.

Sebenarnya Aan pernah masuk Pesantren As’adiyah Sengkang, Wajo, Sulsel. Namun, dia tidak kerasan sehingga kemudian pindah ke madrasah tsanawiyah negeri di Watampone, Bone.

Suatu ketika, Aan menemukan buku kumpulan sajak karya Subagio Sastrowardoyo, Simfoni Dua, dan langsung mengaguminya.

"Bagaimana orang bisa menulis pendek, tetapi banyak yang dikatakan. Saya mau begini," katanya.

Kemampuan menulis tumbuh dalam diri Aan. Kebetulan, ibunya juga menyukai puisi dan keduanya sering berkomunikasi lewat surat.

"Ibu saya adalah orang pertama yang membaca tulisan-tulisan saya," katanya.

Tahun 1997, Aan merantau ke Makassar. Dia habiskan setahun pertama untuk mengunjungi beberapa perpustakaan di kota itu.

Setahun kemudian, dia kuliah di Jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin.

Sejak 2001, dia bertekad untuk serius menulis dan hidup dari menulis. Namun, dia dinasihati ibunya, bahwa menjadi penulis itu mungkin akan miskin.

"Miskin, penulis. Wah, kayaknya romantis. Itu pikiran bodoh saya waktu itu," kenang Aan.

Peringatan sang ibu bukanlah isapan jempol. Aan pernah menghadapi masa-masa sulit karena harus berhemat demi membeli buku.

"Saya pernah masak mi instan untuk makan bertiga," ujarnya.

Meski tak mudah, dia berjanji tidak mau keluar kampus sebelum punya buku. Menjelang lulus, tahun 2005, dia terbitkan kumpulan puisinya, Hujan Rintih-rintih (2005).

Dia semakin percaya diri. Dua tahun berikutnya, dia menerbitkan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007).

Menyusul kemudian Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? (2012), Kukila (2012), dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014).

Pada 2015, dia meluncurkan kumpulan puisi Melihat Api Bekerja.

Karya-karya itu diapresiasi publik karena menawarkan misteri yang disampaikan dalam bahasa yang sederhana, tetapi sublim sekaligus indah.

"Eksteriornya sesimpel mungkin, tapi interiornya lebih kompleks."

Jika puisi itu seumpama rumah, Aan menyiapkan sebanyak mungkin ruangan di dalamnya.

"Kalau ibu saya berkunjung ke situ, dia bisa istirahat di ruang tidur nyaman, ada dapur, tempat bersantai yang hangat, juga beribadah," katanya.

Karya-karya Aan mengajak pembaca untuk bertualang.

Bagi dia, puisi adalah jalan untuk mencari tahu daripada memberi tahu, menyodorkan pertanyaan ketimbang jawaban, dan menggoda kita untuk meragukan berbagai hal yang diyakini.

"Tugas saya, menyebarkan kegelisahan lewat puisi."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com