Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Goenawan Mohamad tentang Gandari, "Tempo", dan Don Quixote

Kompas.com - 23/09/2020, 07:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA nama-nama Lord Byron, Walter Benjamin, Fyodor Dostoevsky, Michel Foucault, Graham Greene, Milan Kundera, Vladimir Nabokov...

Ini hanya sebagian kecil dari banyak nama-nama besar yang menanggapi dan menulis tentang novel terlaris dalam sejarah berjudul "Don Quixote".

Di abad 21 ini, penyair Goenawan Mohamad menulis "Aku Don Quixote de La Mancha/majenun yang mencarimu..." dalam kumpulan puisi "Don Quixote" (2011), yang juga disertai berbagai sketsa tafsirnya terhadap "si penggeli hati" itu.

Tujuh tahun kemudian, Goenawan juga menulis kumpulan esei "Si Majenun dan Sayid Hamid".

Setahun kemudian, saya menikmati bagaimana Salman Rushdie menafsir Don Quixote dalam novel "Quichotte" dalam bentuk novel dengan setting modern.

Mengapa Don Quixote? Goenawan Mohamad menjawabnya dengan dalam dan rinci tentang ketertarikannya atas novel ini di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang terbagi menjadi dua episode.

Yang Anda dengarkan Rabu ini adalah serangkaian kisah proses kreatif Goenawan menciptakan berbagai puisinya yang terinspirasi dari tokoh-tokoh wayang.

Mengapa Goenawan tertarik mengangkat sosok Gandari atau Karna daripada tokoh-tokoh utama Mahabharata seperti Pandawa Lima, misalnya?

"Ada perlakuan tak adil terhadap tokoh Gandari," demikian Goenawan sambil menyebutkan bagaimana ia sengaja membuat tafsir yang berbeda tentang bagaimana Gandari membebat sepasang matanya.

Satu hal yang menarik saya adalah ketertarikan Goenawan Mohamad memasuki dunia fiksi.

Jika selama puluhan tahun nama Goenawan lebih dikenal sebagai penyair, eseis, wartawan, pendiri majalah Tempo, penulis libretto beberapa pertunjukan panggung, kini ia memutuskan berekspresi melalui novel.

Naskah dramanya berjudul "Surti dan Tiga Sawunggaling"--dan sudah dipentaskan beberapa tahun silam dengan—kini berubah bentuk dan diperluas menjadi sebuah novel.

Di dalamnya, kita menemukan hal-hal baru, adegan baru, tokoh baru. Salah satunya tokoh anak bernama Niken, "... satu-satunya anak kami, tenggelam di laut", diperkenalkan sejak awal dengan cara yang mengejutkan dan diletakkan sebagai anak kalimat.

Seperti puisi-puisinya, novel Goenawan sangat menahan diri untuk tidak terlalu dramatik, tidak bergelora meski peristiwa yang digambarkan cukup tragis.

Di dalam podcast bagian pertama ini, kita juga akan mendengar mengapa 20 tahun terakhir ia memilih seni pertunjukan sebagai "rumah baru".

"Saya menemukan keluarga baru," demikian Goenawan mengemukakan salah satu alasan. Di dalam Edisi ini juga kita akan mendengarkan apa pendapatnya tentang institusi Tempo yang dulu didirikannya bersama kawan-kawannya.

Episode "In Conversation with Goenawan Mohamad" bagian pertama dapat Anda dengarkan mulai sekarang di Spotify.

Adapun bagian kedua bisa Anda dengarkan Rabu mendatang, 30 September 2020.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau