ADA nama-nama Lord Byron, Walter Benjamin, Fyodor Dostoevsky, Michel Foucault, Graham Greene, Milan Kundera, Vladimir Nabokov...
Ini hanya sebagian kecil dari banyak nama-nama besar yang menanggapi dan menulis tentang novel terlaris dalam sejarah berjudul "Don Quixote".
Di abad 21 ini, penyair Goenawan Mohamad menulis "Aku Don Quixote de La Mancha/majenun yang mencarimu..." dalam kumpulan puisi "Don Quixote" (2011), yang juga disertai berbagai sketsa tafsirnya terhadap "si penggeli hati" itu.
Tujuh tahun kemudian, Goenawan juga menulis kumpulan esei "Si Majenun dan Sayid Hamid".
Setahun kemudian, saya menikmati bagaimana Salman Rushdie menafsir Don Quixote dalam novel "Quichotte" dalam bentuk novel dengan setting modern.
Mengapa Don Quixote? Goenawan Mohamad menjawabnya dengan dalam dan rinci tentang ketertarikannya atas novel ini di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang terbagi menjadi dua episode.
Yang Anda dengarkan Rabu ini adalah serangkaian kisah proses kreatif Goenawan menciptakan berbagai puisinya yang terinspirasi dari tokoh-tokoh wayang.
Mengapa Goenawan tertarik mengangkat sosok Gandari atau Karna daripada tokoh-tokoh utama Mahabharata seperti Pandawa Lima, misalnya?
"Ada perlakuan tak adil terhadap tokoh Gandari," demikian Goenawan sambil menyebutkan bagaimana ia sengaja membuat tafsir yang berbeda tentang bagaimana Gandari membebat sepasang matanya.
Satu hal yang menarik saya adalah ketertarikan Goenawan Mohamad memasuki dunia fiksi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.