Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Noktah Kecil Film Indonesia di Cannes

Kompas.com - 05/06/2016, 19:11 WIB

Oleh: PUTU FAJAR ARCANA

KOMPAS - Kemenangan film Prenjak (In the Year of Monkey) besutan sutradara muda Wregas Bhanuteja jadi babak baru kehadiran Indonesia di Festival de Cannes.

Isu lokal tentang "permainan" korek api, jika dikemas dalam bingkai sosial, bisa menggetarkan dunia. Kuncinya, kesadaran pada nilai-nilai universal yang membelit sistem kemanusiaan kita sejak dulu sampai kini, mungkin nanti.

Ajang Semaine de la Critique memang bukan ajang utama Festival Film Cannes. Namun, kategori ini dibangun oleh asosiasi kritikus film Perancis, yang gerah oleh eksklusivitas Cannes.

Dalam perjalanannya, Semaine de la Critique akhirnya disatukan dengan pelaksanaan Festival Film Cannes. Ia tetap menjadi ajang bergengsi, yang mencuatkan nama Indonesia dalam bursa perfilman dunia.

Nama Indonesia baru tercatat di Festival Film Cannes ketika film Tjoet Nja' Dhien arahan sutradara Eros Djarot lolos mengikuti kompetisi film panjang dalam kategori Semaine de la Critique atau Critic's Week tahun 1989.

Film ini juga pernah diajukan pemerintah dalam festival Academy Awards ke-62 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik. Sayangnya tidak lolos dalam babak nominasi.

Film ini bahkan mengantarkan bintang utamanya, Christine Hakim, menjadi juri untuk kompetisi film utama Festival Film Cannes tahun 2002.

Waktu itu Christine berdampingan dengan Michelle Yeoh, aktris asal Malaysia, serta beberapa juri internasional lainnya.

Juri Cannes selalu berganti setiap tahun dan biasanya berasal dari para insan film dari seluruh dunia. Tahun ini presiden juri dipercayakan kepada George Miller, sutradara asal Australia yang membesut film Mad Max.

Setelah itu sutradara Garin Nugroho meloloskan dua filmnya dalam kategori Un Certain Regard, satu kategori film-film independen terbaik dunia. Film Daun di Atas Bantal berkompetisi tahun 1998, kemudian Serambi tahun 2006 dalam kategori yang sama.

Sayang juga, kedua film ini belum memperoleh penghargaan.

Nama sutradara Indonesia, Edwin, juga muncul tahun 2005 di Cannes lewat film Kara, Anak Sebatang Pohon. Edwin berkompetisi dalam kategori Quinzaine des Realisateurs atau Director's Fortnight.

Lalu tahun lalu dalam kategori yang sama dengan Prenjak, ada film The Fox Exploits The Tiger's Might karya Lucky Kuswandi lolos berkompetisi meski belum berhasil menang.

Lintasan film-film Indonesia dalam perhelatan sebesar Cannes mungkin cuma noktah kecil dari garis edar besar yang harus dilalui.

Sejarah Festival Film Cannes sudah berjalan 69 tahun, dan kehadiran film Indonesia baru dimulai ketika festival itu telah berlangsung 43 tahun.

Kalau menurut istilah Kepala Bidang Perizinan dan Pengendalian Perfilman, Pusat Pengembangan Perfilman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kholid Fathoni, Indonesia sudah ketinggalan kereta.

"Dan sekarang saatnya mengejar itu," kata Kholid Fathoni yang memimpin delegasi Indonesia menghadiri Festival Film Cannes.

Keberhasilan

Selain kemenangan Prenjak, sutradara Mouly Surya yang membawa proyek film Marlina, the Murderer in Four Acts lolos dalam jenjang La Cinefondation untuk kategori L'Atelier de la Cinefondation.

L'Atelier adalah satu project market dalam ajang Cannes, di mana para insan film berkesempatan bertemu para penyandang dana dan distributor dari berbagai negara.

"Syukurlah film ini dilamar oleh banyak co-producer dalam berbagai negara," kata Mouly Surya yang juga hadir di Festival Film Cannes.

Chief Executive Officer Kaninga Pictures Willawati, tempat Mouly bekerja sama, mengatakan jalan film yang akan mulai shooting bulan Agustus 2016 di daratan Sumba ini menjanjikan.

"Mungkin kami akan pilih co-producer dari Perancis, dan berharap film ini lolos dalam kompetisi utama Cannes nanti," kata Willawati.

Melihat pengalaman di Perancis, Willawati berencana membuka gerai sendiri di Cannes untuk makin dalam memasuki perhelatan film kelas dunia.

Sutradara Joko Anwar juga berhasil membawa proyek film Remarkable Things During A Killing dalam forum Paris Co-Production Village yang hadir di Cannes.

Meski forum ini baru berdiri tiga tahun, mereka memberi kesempatan kepada insan film dunia bekerja sama dengan para penyandang dana dari Perancis.

"Tahun ini Paris Co-Production Village memilih 12 insan film dari seluruh dunia untuk nanti ketemu di Paris bulan Juni. Kita akan bicarakan kelanjutan proyeknya," kata Joko, salah satu delegasi Indonesia di Festival Film Cannes.

Menurut Joko Anwar, ajang sebesar Cannes bukan sesuatu yang tunggal. Di dalamnya banyak agenda yang bisa diikuti insan film Indonesia.

Perolehan dukungan dana dari luar untuk proyek film tidak didapat begitu saja. Semua harus dilakukan dengan aplikasi dan membangun jaringan internasional. Menurut Joko, pekerja film Indonesia kurang berkumpul.

"Sekarang sudah ada asosiasi, tetapi jarang kumpul dan ngobrol. Ngobrol penting untuk membangun jaringan agar jangan selalu bertumpu pada investor dalam negeri," kata Joko.

Patut dicatat pula, keberhasilan film animasi produksi MSV Pictures, Battle of Surabaya, memperoleh distributor untuk wilayah Timur Tengah, Amerika Latin, dan India.

"Ini bisa terjadi di Cannes," kata Executive Producer MSV Pictures M Suyanto.

Kehadiran Indonesia di Cannes, menurut Ketua Bidang Festival Luar Negeri Badan Perfilman Indonesia (BPI) Robby Ertanto, perlu konsisten.

"Semua negara ada di sini. Pasti bukan buat tujuan komersial. Tetapi, negara membawa film-film terbaiknya ke ajang dunia. Kalau bisa buat market screening," kata Robby di Cannes.

Kebijakan-kebijakan yang diambil di dalam negeri menyangkut perfilman, kata Robby, bisa disosialisasikan pada perhelatan dunia seperti Cannes.

"Untuk itu kita memang harus bikin forumnya, bisa buka gerai lalu mengundang para produser, distributor, buyers film asing. Intinya membangun networking sangat penting," kata Robby.

Kholid Fathoni mengakui negara seperti Malaysia lebih "maju" dalam kebijakan mendatangkan investor asing di bidang film.

Ia berharap kebijakan seperti pengeluaran film dari DNI (daftar negatif investasi) bisa disosialisasikan dalam ajang-ajang film internasional di kemudian hari.

Pada sisi lain Joko Anwar melihat, masalah terbesar Indonesia bukan hanya kemampuan membangun jaringan internasional, tetapi lebih-lebih pendidikan.

"Kalau bisa, di beberapa universitas penting, ada jurusan film," kata Joko.

Tetapi, hal itu program jangka panjang. Hal paling cepat yang bisa dilakukan untuk mengejar ketinggalan kereta itu, "Datangkan guru-guru berkaliber internasional untuk melatih para insan film kita. Kebutuhan mendesaknya, cari penulis skenario yang bagus," katanya.

Prenjak sudah membuktikan dengan kemenangan. Artinya, Indonesia punya kesempatan baik untuk memasuki "pergaulan" film di tingkat dunia.

--------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juni 2016, di halaman 1 dengan judul "Noktah Kecil Film Indonesia di Cannes".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com