KOMPAS.com – Seni bisa membawa energi dan semangat baru bagi penggelutnya. Lebih jauh, dunia seni pun bisa mengubah hidup seseorang ke arah lebih baik.
salah satu contohnya Eki Permadi Nugraha. Lewat beatbox atau seni meniru berbagai bunyi, dia mendapat kehidupan lebih layak.
Dulu Eki bekerja sebagai pramuniaga kontrak di salah satu pusat perbelanjaan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Satu ketika, kantornya mengadakan kompetisi unjuk bakat khusus karyawan.
Berbekal kebolehan bermain beatbox, jadilah Eki mewakili divisi tempatnya bekerja. Tak disangka, dia malah memenangkan lomba tersebut dan diangkat menjadi karyawan di bagian pelayanan pelanggan dan event organizer.
Penghasilan Eki kian bertambah. Biaya kuliah yang sebelumnya terasa mencekik dompet kini menjadi lebih ringan. Memang, saat itu Eki masih berstatus mahasiswa.
"Tapi, pelajaran paling penting adalah beatbox mengajarkan saya untuk kreatif terkait banyak hal dalam hidup. Keajaiban Tuhan akan datang dengan sendirinya untuk yang rajin dan tak mudah menyerah," kata Eki seperti dikutip harian Kompas, Minggu (3/5/2015).
Konon, beatbox lahir setelah kemunculan beat machine, pada kisaran 1960 hingga 1970 di Amerika Serikat. Alat musik ini bisa meniru ragam instrumen, mulai dari drum, bass, dan alat-alat perkusi.
Namun, karena harganya lumayan mahal, orang mulai meniru-niru suara beat machine menggunakan mulut. Beatboxer, sebutan bagi pemain beatbox, hanya mengandalkan mulut, organ pernapasan, dan pita suara untuk menghasilkan musik. Dari tiga bunyi dasar beatbox, yaitu B (bas drum), T (hit hat), dan K (snare), mereka mengembangkan ragam variasi bunyi lain.
"Musik ini sangat menghargai keterbatasan manusia. Namun, dari keterbatasan itu justru muncul banyak hal besar yang tak pernah diduga sebelumnya," ujar beatboxer pendiri komunitas Indobeatbox, Willem Carolus Christopherson alias Billy BdaBX.
Berani tampil
Anak muda Indonesia tak hanya getol mendalami seni musik saja. Banyak di antara mereka juga hobi menari atau melukis.
Jika Anda sedang berjalan-jalan menyusuri kafe-kafe sepanjang Jalan Raya Cikini, Jakarta, misalnya, coba tundukkan kepala sebentar. Anda akan takjub dengan ragam lukisan berbentuk mural dilukis di atas trotoar.
Mural bertopik permainan tradisional terlihat di beberapa sudut jalan setapak. Congklak, ular tangga, dan permainan "jadul" lain terlihat meriah dengan cat warna-warni dibalut bingkai bercorak batik.
Mural-mural tersebut tak hanya sedap dipandang, melainkan juga punya nilai edukatif. Kecintaan terhadap budaya bangsa jelas terlihat dalam tiap guratan karya mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Disaring dari Harian Kompas edisi Kamis (17/12/2015), Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ, Citra Smara Dewi mengatakan bahwa seni rupa di ruang publik tak identik dengan vandalisme atau merusak lingkungan. Justru, lanjut Citra, saat semua pihak terkait dilibatkan, mural bisa digunakan sebagai media untuk membangun kesadaran masyarakat agar mau menjaga lingkungan.