Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Berkomunikasi" dengan Tuhan lewat Tarian

Kompas.com - 29/08/2016, 08:37 WIB
Adhis Anggiany Putri S

Penulis


KOMPAS.com – Malam itu, ruang seluas 15x15 meter yang biasa dijadikan tempat latihan tari gelap gulita. Semua lampu dipadamkan, kaca jendela pun tertutup rapat oleh tirai. Pementasan tari segera dimulai.

Bunyi menyerupai gong kecil dipukul lamat-lamat terdengar. Suara logam-logam beradu berdencing-dencing saling menyahut seirama bunyi gong. Secercah cahaya lalu menyala redup dari atas panggung.

Terlihat, lima penari tanpa alas kaki sudah tegak berdiri samping menyamping. Dua orang wanita dan tiga orang lelaki siap berpentas. Sinar lampu yang menyorot panggung makin terang. Alunan musik pun terdengar kian cepat.

Mengikuti irama, lima penari mulai meliuk-liuk membawakan tarian bergenre kontemporer. Gerakan mereka begitu cepat, sebentar-bentar tangan mengacung ke atas, lalu ke samping, melompat, dan memutar. Ekspresi wajah mereka pun kaya, terkadang terlihat garang, beberapa detik kemudian berubah sedih.

Di tengah pementasan, satu orang penari lelaki menyusul masuk panggung. Salah satu adengan memperlihatkan keenam penari tersebut duduk bersimpuh. Tangan diangkat, mereka menengadah seakan berdoa pada Tuhan.

Adegan lain memperlihatkan salah satu penari wanita berdiri sendiri di tengah panggung. Tangan dan pandangan menuju ke atas sambil berkata, "Kamu di mana? Apakah di langit tertinggi?"

KOMPAS.COM/ADHIS ANGGIANY Salah satu penari bertanya-tanya tentang keberadaan Tuhan.

Dia menunduk dan melanjutkan, "Atau di laut terdalam?" Kemudian sambil menunjuk dengan jari manis ke arah dada, wanita tersebut mengatakan, "Atau di lubuk hati?"

"Pementasan tari ini merupakan gagasan sederhana saya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. Enggak bicara tentang ritual agamanya atau (merujuk ke) agama tertentu. Ini universal, tentang hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya," kata Siko Setyanto, koreografer sekaligus penari dalam pementasan tari berjudul "Nol" kepada Kompas.com, Sabtu (27/8/2016) di Farida Oetoyo Performance Hall, Jakarta Selatan.

Di akhir pementasan itu lima penari terbaring lunglai di atas lantai seakan kehabisan tenaga. Hanya satu penari, Siko, masih menari, menggerakkan jari seakan mengambil sesuatu yang tak kasat mata dari tubuh lima penari lainnya. Lampu sorot pun pelan-pelan meredup sampai akhirnya padam total.

"Pemilihan judul Nol juga dimaksudkan tentang perjalanan kehidupan manusia dari lahir sampai mati," lanjut Siko.

Penghayatan

Konsep pementasan tari itu sebenarnya sudah diramu Siko sejak setahun lalu. Namun, persiapan pentas baru dimulai dua bulan sebelumnya. Waktu tersebut digunakan Siko untuk mencari penari dan memilih musik.

Penari yang dipilihnya tak melewati audisi resmi. Siko, yang juga aktif mengajar di salah satu sanggar tari di Jakarta, hanya mengobrol santai dengan para penari yang dia kenal.

"Sambil makan di warteg saya tanya-tanya, jadi mereka tidak merasa kalau mereka itu lagi diwawancara (untuk pentas). Saya melakukan pemilihan penari lewat itu," tuturnya.

KOMPAS.COM/ADHIS ANGGIANY Lima penari dari United Dance Work memulai pementasan tari yang dikoreografikan oleh Siko Setyanto berjudul "Nol" di Farida Oetoyo Performance Hall, Jakarta Selatan, Sabtu (27/8/2016).

Menurut salah satu penari di pentas tari Nol, Dimas Praditya, sebagai koreografer Siko sangat mampu menggali potensi masing-masing penari. Memang, tak semua penari terpilih memiliki latar belakang tari kontemporer.

"Tapi Ka Siko menjelaskan kalau apa pun basik (tari) yang kami miliki itu adalah kontemporer karena kontemporer sendiri sebenarnya enggak ada artinya (definisi khusus)," ujar Dimas.

Menurut dia, tantangan paling sulit adalah mengendalikan emosi saat menari. Pementasan tari "Nol" sendiri memang membutuhkan pendalam karakter yang kuat.

"Siko menggali emosi dalam diri kami. Kebetulan ibu aku sudah meninggal tahun 2008. Jadi dia (Siko) menyangkutpautkan ketuhanan dalam tubuh aku itu dengan cara berkomunikasi dengan Tuhan melewati ibu aku," tutur Dimas.

Selama menari, Dimas mengaku berkali-kali hampir menangis saking terbawa emosi.

"Sebetulnya boleh nangis, tapi takut tidak terkontrol, itu sih yang dia ajarkan, yaitu bagaimana mengontrol emosi," lanjutnya.

Penghayatan penari yang mendalam saat menari di panggung dirasakan pula oleh penonton. Toby Roorimpandey, salah satu penonton, mengakui eksplorasi karakter per individu penari dalam pementasan itu terlihat jelas.

"Memang, tidak mudah (dipahami), tapi mereka (penari) sudah terlihat berani. Tidak semua penari punya karakter individual yang berani," kata Toby.

Dalam tarian, dia bisa melihat berbagai karakter manusia diwakili para penari. Akhir cerita dalam pementasan juga bagi Toby cukup memberikan kejelasan.

"Apa pun yang kita lakukan, kita berusaha untuk hidup, kita tetap akan mati. Ke mana pun kita pergi kita tak akan bisa bersembunyi dari Tuhan," ucap Toby.

KOMPAS.COM/ADHIS ANGGIANY Penari menggapai ke atas seakan berdoa kepada Tuhan.

Tari rakyat

Dimas pun merasakan energi dari penonton turut mengalir saat menari. Memang, pertunjukkan ini dirancang seperti tari rakyat di Jawa, tak ada jarak berarti antara penonton dan penari.

"Saya berharap ketika kami menari ngadepnya ke penonton. Jadi, mereka juga bisa merasakan saat penari kesakitan, menemukan Tuhannya, atau saat bertanya-tanya tentang Tuhannya," kata Siko.

Panggung pun sebenarnya hanya sebutan saja. Tak ada podium atau lantai lebih tinggi tempat penari berpentas. Tepat di tengah ruangan, lantai hanya di selimuti karpet hitam. Sementara itu, kursi-kursi penonton disusun persis mengelilingi karpet tersebut.

Di salah satu sisi ruangan, pemain musik secara langsung mengiringi tarian. Namun, kebanyakan alat musik yang digunakan terlihat berbeda.

Salah satu pemain musik, misalnya, menggunakan mangkuk kaca bening yang biasa dipakai untuk memelihara ikan kecil. Mangkuk ini diisi air sebagian. Dengung lembut keluar ketika pemain memutar-mutar ujung mangkuk dengan jari.

"Makanya musiknya kan aneh-aneh, saya mau (musik) yang enggak sama, yang lain. Sampai pakai tong kecil dan kaleng," kata Siko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com