Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyanyikan Lagi Kantata Takwa

Kompas.com - 06/01/2017, 17:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sore itu, Yockie Suryo Prayogo sedang berkutat dengan flu berat. Ia bergelung di balik jaket tebal berwarna hitam, dan suaranya terdengar fals. Belakangan ini cuaca di Jakarta dan sekitarnya memang jahanam, kekeh kami. Kami mengobrol di depan televisi, ditemani air putih dan tahu.

"Belum pernah kejadian di Indonesia ada konser musik seperti itu," kenangnya.

"Seumur hidup saya konser dengan berbagai kelompok musik, baru di sana saya melihat stadion yang kapasitasnya hampir dua ratus ribu orang, dan itu dari mulai rumput sampai ke balkon penuh manusia semua. Ketika ada api, ada asap, ada bakar-bakaran, semua orang di panggung tegang."

Malam itu, tanggal 23 Juni 1990, ratusan ribu orang berkumpul di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Panggung raksasa yang dihias serupa tubuh burung rajawali telah siap sedia, juga sorotan sinar laser yang menyilaukan. Barikade-barikade stadion dirubuhkan massa, pagar pembatas dijebol, dan tentara bersenjata api kewalahan menghalau kerumunan. Ketika Iwan Fals muncul di bibir panggung, penonton yang tak sabar mulai bersorak sorai.

 

"Kalau cinta sudah dibuang,

Jangan harap keadilan akan datang,

Kesedihan hanya tontonan,

Bagi mereka yang diperbudak jabatan,

O o ya o ya o ya bongkar!"

Konser perdana kelompok Kantata Takwa di Jakarta adalah awal mula dari bertahun-tahun dialog dan kolaborasi antara beberapa nama terbesar dalam kesenian Indonesia. Malam bersejarah itu dapat terwujud berkat serangkaian perkenalan tak terduga, penindasan di bawah rezim otoriter, dan dedikasi seorang konglomerat nekat.

Pada tahun 1989, Yockie Suryo Prayogo sedang rehat di Jakarta setelah konser keliling Indonesia bersama bandnya, God Bless. Panggilan telepon iseng dari penabuh drum legendaris Jelly Tobing membawanya ke rumah bergerbang hijau di Kebon Jeruk.

"Ia (Jelly Tobing) mengajak saya untuk menemani dia berhura-hura (jam-session) main musik di rumah seorang kenalannya," tulis Yockie, bertahun-tahun kemudian.

Kenalan tersebut, lanjut Yockie, adalah seorang "pehobi musik" yang kebetulan memiliki fasilitas band lengkap di rumahnya. "Saya sendiri diberitahu oleh Jelly Tobing, bahwa orang tajir tersebut namanya Setiawan Djody."

Pada masanya, Setiawan Djody adalah salah satu pebisnis paling berpengaruh di Indonesia. Melalui perusahaan SETDCO Group, ia merambah bidang telekomunikasi, konstruksi, hingga kelapa sawit.

"Nama Setiawan Djody adalah jaminan kertas bernilai yang enggak berseri," ucap Yockie.

Setiawan pun dikenal memiliki hubungan erat dengan penguasa, termasuk dengan Presiden Indonesia saat itu, Soeharto.

Namun, ia tidak hanya dikenal sebagai seorang pebisnis kelas kakap. Setiawan memiliki ketertarikan khusus pada dunia seni, dan telah lama menjadi maesenas (pendana) bagi Bengkel Teater yang dikelola penyair kontroversial WS Rendra. Sokongan dananya bahkan telah membawa Bengkel Teater melakukan pementasan di Amerika Serikat.

Konglomerat flamboyan ini juga menjalin pertemanan akrab dengan figur papan atas dunia musik seperti Mick Jagger dan David Bowie.

Selain ranah sastra dan teater, ia pun berkenalan dan menjadi maesenas bagi Iwan Fals, yang kala itu telah menjadi salah satu penyanyi top di Indonesia. Pada tahun 1989, Iwan Fals merilis album Mata Dewa. Setiawan Djody tak hanya memberi dukungan fasilitas dan dana untuk album tersebut –ia juga memainkan instrumen dan mengisi vokal latar.

Mengandalkan lagu hits berjudul sama yang ditulis saat mereka berdua nongkrong di pantai Kuta, album tersebut meledak di pasaran.

"Setelah ketemu dengan Setiawan Djody, saya menyayangkan kalau kita bikin band yang seperti itu-itu saja," Kisah Yockie.

"Saya ingin ini jadi sesuatu yang punya makna lebih dalam dari sekadar main musik. Pada saat itu, kebetulan saya dikenalkan dengan WS Rendra."

Di sana, ia pun bertemu seorang kawan lama, musisi legendaris Harry Roesli. 

"Kami ngobrol, merumuskan, 'Yuk, kita bikin kelompok musik yang bicara mengenai masalah sosial, politik, ekonomi, dan segala macam'."

 

"Rendra mampu merumuskan pikiran-pikiran kita semua sehingga akhirnya menjadi sebuah ketentuan, sebuah ide."

Obrolan antara Setiawan, Yockie, Rendra, dan Roesli inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Kantata Takwa. Meski Roesli kemudian undur diri karena ia tinggal di kota yang berbeda, tak butuh waktu lama untuk melengkapi formasi kelompok tersebut.

Setiawan segera mengajak dua musisi yang telah berkolaborasi dengannya di kelompok Swami, yang melahirkan lagu-lagu ikonik "Bento" dan "Bongkar"; Sawung Jabo, punggawa Bengkel Teater asal Surabaya, dan Iwan Fals.

Dalam pertemuan mereka, Kantata tak hanya mematangkan materi musik yang akan mereka rekam. Kelompok tersebut terbentuk dengan kesadaran politik yang tinggi.

"Kita bicara apa saja di sana," kenang Yockie.

"Bicara mengenai hak, mengenai masalah ekonomi, mengenai masalah hukum, mengenai masalah aturan. Semuanya bebas di sana. Kantata itu seperti kawah Candradimuka. Semuanya digodok di sana, semua dibentur-benturkan."

Sementara, di dalam studio, Yockie bersama Jabo dan Iwan sibuk menciptakan fragmen lagu untuk mereka rekam.

"Pembuatan materi itu bukan materi utuh atau lagu yang selesai," terang Yockie.

"Hanya potongan. Misalnya ada potongan beat, potongan melodi, progresi note, progresi chord, yang kemudian kita rekam," saat perhatian Sawung Jabo dan Iwan Fals tersita oleh proses rekaman album Swami I, Yockie mendekam sendirian di studio dan merangkai potongan-potongan tersebut menjadi serangkaian lagu yang utuh.

Fragmen yang dirapikan oleh Yockie itu kemudian direkam dengan bantuan musisi profesional seperti Raidy Noor, Embong Rahardjo, hingga Donny Fattah. Ketika para anggota Kantata Takwa kembali ke studio, mereka sigap merespons komposisi yang telah disiapkan.

Selagi Iwan Fals dan Sawung Jabo mengisi vokal, Rendra sibuk menulis syair untuk lagu-lagu tersebut.

Hasilnya adalah Kantata Takwa, yang dirilis pada tahun 1990. Musik yang tersaji dalam album tersebut melangkah jauh melampaui balada akustik khas Iwan Fals, atau musik rock cadas yang dimainkan Yockie bersama God Bless.

Pada "Balada Pengangguran", petikan gitar akustik dari Raidy Noor disela oleh sahut-sahutan vokal dari Iwan Fals dan Sawung Jabo, "Akan merampok takut penjara, menyanyi tidak bisa,” nyanyi Iwan Fals disambut teriakan Jabo. "Bunuh diri ku takut neraka, menangis tidak bisa!"

Namun, momen terbaik di album ini tentu adalah "Paman Doblang", yang diangkat dari salah satu syair W.S Rendra. “Kesadaran adalah matahari,” nyanyi koor dari Bengkel Teater di tengah narasi dari Sawung Jabo, dentum kencang drum, dan denting keyboard. “Kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata!”

 

"Kita mengkritik sistem, bukan orang. Tapi, kalau soal lagu-lagu itu terinspirasi Soeharto, tentu iya."

 

Di buklet album Kantata Takwa, terselip tiket untuk menghadiri konser akbar Kantata Takwa di Gelora Bung Karno, pada tanggal 23 Juni 1990. Tawaran tersebut nantinya akan disambut oleh lebih dari seratus lima puluh ribu orang yang memadati Senayan, dan berujung pada konser lanjutan yang juga membludak di Solo dan Surabaya.

Pada selamatan untuk merayakan rampungnya album tersebut, Kantata Takwa bertemu dengan seorang teman lama, seorang musisi dan sutradara kawakan bernama Eros Djarot.

"Secara singkat, terjadilah terjadilah dialog antara pihak Kantata dengan Eros Djarot," kenang Yockie.

"Dia bilang, 'Ini kalau dibikin film seru juga konsepnya'. 'Oh, boleh!'. Barulah gagasan untuk membuat film itu dicanangkan."

Eros Djarot beserta krunya lantas mengikuti Kantata Takwa dalam konser mereka di Jakarta, Solo dan Surabaya, merekam konser mereka, dan mereka-reka adegan secara dadakan bersama para personil Kantata Takwa dan anggota Bengkel Teater.

Hasilnya adalah Kantata Takwa, film semi-dokumenter yang menggabungkan footage konser, narasi cerita fiktif, monolog dari Rendra, hingga percakapan panjang antara Sawung Jabo dan Iwan Fals. Di akhir film, Rendra dipenjara oleh seorang hakim bertopeng banyak, sementara para anggota Kantata Takwa lainnya dieksekusi satu per satu oleh pasukan tanpa wajah.

Meski direkam pada awal dekade 1990-an, film Kantata Takwa tidak pernah ‘keluar gudang’ hingga tahun 2008. Berbagai spekulasi berembus ihwal lambannya proses pengerjaan film ini –termasuk bahwa film tersebut dicekal karena dianggap terlalu kontroversial dan kritis.

Kenyataannya tidak sesederhana ataupun sedramatis itu. Film Kantata Takwa berdiam selama 18 tahun di gudang karena kesulitan dana, dan kesibukan masing-masing personel.

Kedua faktor inilah yang kemudian membuat eksperimen Kantata Takwa seolah mati suri setelah masa jayanya di awal dekade 1990-an.

"Harus diakui bahwa pasca-Setiawan Djody sebagai pengusaha berfungsi sebagai maesenas, ketika dia membiayai Kantata, biayanya besar sekali," tutur Yockie.

"Tentu itu berdampak pada kemampuan finansial dia. Itu antara lain kenapa Kantata Takwa mati suri selama 17 tahun."

Pada masa-masa di mana Rupiah masih ada di kisaran Rp 2,500 per dollar, satu kali konser Kantata Takwa disebut-sebut menghabiskan dana tak kurang dari Rp 1,5 miliar. Sebuah angka yang tergolong fantastis, bahkan bagi pengusaha sekaliber Setiawan Djody sekalipun.

Salah satu pertanyaan yang paling menggelitik, tentunya, adalah: Bagaimana mungkin kelompok musik seperti Swami dan Kantata Takwa dibiarkan begitu saja oleh Orde Baru?

Kemunculan kelompok seperti Swami dan Kantata Takwa bisa dibilang berani. Meski tak menyindir pemerintah secara gamblang, syair dari lagu seperti "Bongkar", "Bento", "Orang-orang Kalah", dan "Paman Doblang" mengkritik ketidakadilan dan penindasan tanpa ragu.

"Bento" misalnya, dianggap sebagai salah satu lagu paling ‘berani’, dengan lirik yang menggambarkan sosok pengusaha rakus yang memonopoli pasar. Bahkan, menurut desas-desus, Bento adalah kependekan dari Benteng Soeharto.

"Pernah saya ditanyain Ibu Tien (Soeharto), Bento ini siapa?" terang Setiawan Djody dalam sebuah wawancara.

"Saya bilang Bento ini umum. Orang atau pengusaha yang baik namanya Bento. Kalau Bento yang enggak baik, yang minta monopoli. Secara gak langsung saya menyindir pengusaha yang minta Pak Harto monopoli perdagangan, serakah."

Kedekatan Setiawan Djody dengan keluarga Cendana dan petinggi militer serta bisnis membuatnya lihai bersilat lidah menerangkan makna di balik lagu-lagu kontroversial Swami dan Kantata Takwa. Lirik lagu Bongkar yang berapi-api, misalnya, ia jelaskan sebagai lagu tentang "membongkar jati diri kita".

Bagi Yockie, interpretasi yang diberikan Setiawan Djody kepada penguasa tersebut sah-sah saja. "Saat itu, situasinya berbeda," ucap Yockie.

"Di zaman itu, memang belum biasa ada yang bicara seperti itu (mengkritik). 'Kalian mau makar ya?' Lho, kok mau makar? Wong cuma lagu, kok. Djody wajib menjelaskan, karena memang tidak ada niatan seperti itu, dan kekuasaan juga paham. Kita cuma nyanyi, kok."

Namun, di dalam Kantata Takwa itu sendiri, penolakan terhadap penindasan di bawah rezim Soeharto terbilang kencang.

"Djody tidak bisa membendung ketika Rendra protes mengenai otoritariannya Soeharto, ketika Iwan, Jabo dan saya menolak," tukas Yockie.

 

"Kita bagian dari generasi yang ikut membakar terjadinya peristiwa Reformasi."

 

Meskipun begitu, Kantata Takwa bukan sekadar band protes terhadap Orde Baru. “Kita mengkritik sistem, bukan orang. Tapi, kalau soal lagu-lagu itu terinspirasi Soeharto, tentu iya," terang Yockie.

"Yang pasti kita menolak segala macam pemaksaan kehendak dan kekuasaan yang semena-mena, hukum yang tidak dikawal, hukum yang hanya milik penguasa, rakyat tidak berdaulat. Kebetulan itu terjadi di era Orde Baru."

Maka, konteks lah yang kemudian membentuk mereka.

Tujuh tahun setelah Kantata Takwa rilis, Indonesia diguncang oleh krisis ekonomi yang hebat. Instabilitas politik yang menyusul membuat Soeharto dijatuhkan oleh gerakan Reformasi pada bulan Mei 1998.

Setelah diktator besar tersebut lengser, Kantata Takwa yang telah lama mati suri muncul lagi dengan berbagai nama dan filosofi bermusik. Mulai dari Kantata Revolvere yang rilis di tahun 1998, hingga konser reuni Kesaksian yang berlangsung pada tahun 2003, Kantata menjadi proyek kesayangan Setiawan Djody dengan serangkaian musisi yang silih berganti menyumbangkan kemampuan mereka.

Memasuki dekade 2000-an, sempat terbersit ide untuk mengubah Kantata Takwa menjadi Kantata Samudra, untuk merepresentasikan ide bahwa Indonesia adalah negara maritim yang perlu dikelola dengan pendekatan maritim.

Namun, nasib berkata lain.

"Pasca kesepakatan itu, Setiawan Djody sakit, Rendra sakit, yang lain punya kesibukan pribadi masing-masing, semuanya terbengkalai, hingga akhirnya matilah kesepakatan itu," kisah Yockie.

Pada tahun 2009, WS Rendra meninggal dunia, dan Kantata Takwa kehilangan pembimbing ideologisnya.

"Dia berhasil mempersatukan paradigma kita semua," ujar Yockie.

"Rendra mampu merumuskan pikiran-pikiran kita semua sehingga akhirnya menjadi sebuah ketentuan, sebuah ide. Ketika sekarang Rendra tidak ada, tidak ada yang menampung dan mampu merumuskan jalan pikiran masing-masing sehingga menjadi langkah strategis."

Pasca-Rendra tutup usia, anggota Kantata Takwa yang tersisa tergerak untuk berkumpul lagi dan mengadakan konser, yang kemudian diadakan pada tahun 2011 dengan julukan Kantata Barock.

Namun, konser ini tak lepas dari kontroversi. Acara ini sempat disambut dengan nota penolakan oleh ahli waris Rendra dan Yockie.

"Saya mempertanyakan pesan mereka," sergah Yockie, berapi-api.

“Karena kalau saya mengacu pada konsep Kantata yang awal, kita berangkat dari kesepakatan melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Kalau sekarang Rendra sudah tidak ada, memang bukan berarti Kantata harus sudah selesai. Cuma, apa yang kita rumuskan sekarang? Saya menuntut kita duduk dulu berempat, kita rumuskan, kemudian apa langkah-langkah strategisnya, baru kemudian kita jalan. Tapi, rupanya hasrat ingin tampil dan ingin konser itu lebih dominan dari ideologi atau visi yang ingin dicapai. Saya lihat masing-masing, 'Oh, ini urusannya sudah bukan ideologis lagi. Ini urusannya ingin tampil, ingin bayaran, ada kontrak.' Akhirnya saya mundur.”

“Buat saya, enggak pantas lah. Enggak etis," lanjut Yockie.

"Dan semenjak itu, terus terang saja, saya melihat penampilan-penampilan teman-teman tidak lebih dari band hiburan. Ini sangat bertolak belakang dengan spirit Kantata Takwa yang saya yakini. Saya tidak mau melihat mereka jadi seperti band OSIS, band SMA."

Sejak saat itu, hubungan Yockie dengan personel Kantata yang lain terbilang renggang. Ia terakhir mengobrol dengan personel Kantata Takwa pada tahun 2014, di tengah ingar bingar terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden baru Indonesia.

"Kasarnya begini," kisah Yockie.

"Saya bilang ke Setiawan Djody, 'Mas, kita itu sekarang ini mengusung suatu tanggung jawab moral. Karena kita bagian dari generasi yang ikut membakar terjadinya peristiwa Reformasi. Kalau sekarang saya lihat kondisinya seperti sama saja, saya merasa punya kewajiban untuk menyampaikan apa yang pernah kita sampaikan. Untuk mengingatkan lagi'."

Ajakan ini disambut secara positif oleh Setiawan Djody, yang meminta Yockie mengumpulkan kembali para personel lama Kantata Takwa. Namun, upaya ini gagal.

"Terus terang saja, saya berhadapan dengan kekuatan korporasi. Saya dibenturkan dengan mereka. 'Oh, sekarang sudah bicara angka, nih? Sekarang sudah bicara aku dapat apa, kamu dapat apa?' Saat itu saya pikir, nurani Kantata itu sudah tidak ada. Sudah terkikis. Jadi, saya lebih sedih lagi. Akhirnya saya bilang ke Setiawan Djody, 'Mas, aku enggak berhasil kumpulin teman-teman.' Ya sudahlah, kata dia.”

Ia terdiam cukup lama.

"Sejak saat itu, saya tidak pernah bertemu mereka lagi, mas." tutupnya.

“Sampai detik ini.”

Dua puluh enam tahun telah lewat sejak malam bersejarah di Senayan itu terjadi. Tiga belas tahun sejak konser Kesaksian yang membawa tiga ratus ribu orang turun ke alun-alun kota Solo. Delapan tahun sejak film Kantata Takwa akhirnya dirilis dan menang penghargaan di mana-mana. Tujuh tahun sejak Rendra meninggal dunia.

Setiawan Djody sembuh dari sakit keras yang melandanya bersamaan dengan Rendra. Perusahaannya masih sibuk membangun jalan tol dan meraup pundi-pundi uang.

Sawung Jabo telah kembali ke Australia, kampung halaman istrinya. Ia menikmati hari tua bersama anak-cucunya di negeri seberang. Iwan Fals masih tur, konser, dan rekaman seperti biasa.

Pada tahun 2015, Iwan dan perusahaannya, PT Tiga Rambu, menuntut PT Airo Swadaya Stupa milik Setiawan Djody. Pasalnya, rekaman konser Kantata Barock yang diselenggarakan pada 2011 disiarkan di televisi nasional tanpa seizin Iwan Fals.

"Orang-orang harus dibangunkan," nyanyi Iwan bersama Kantata, bertahun-tahun lalu.

"Aku bernyanyi, menjadi saksi." (Raka Ibrahim)

 

---

Artikel ini telah dimuat di ruang.gramedia.com dengan judul "Menyanyikan Lagi Kantata Takwa".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com