Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Kompas.com - 12/03/2017, 20:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Hari Musik Nasional diperingati setiap 9 Maret setiap tahun. Setiap tahun pula harapan disematkan demi kemajuan musik di Tanah Air. Tahun ini banyak harapan agar musik menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Beragam koleksi yang berhubungan dengan musik dari berbagai era dipamerkan dalam Musik Bagus Day di Cilandak Town Square, Jakarta, Kamis (9/3/2017). Kegiatan ini digelar sekaligus untuk memperingati Hari Musik Nasional setiap tanggal 9 Maret.

Harapan itu setidaknya disampaikan penyanyi muda yang tengah naik daun, Raisa Andriana, di hadapan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam peringatan Hari Musik Nasional di Istana Negara Republik Indonesia, Kamis (9/3/2017).

Selain Raisa, sejumlah musisi juga diundang hadir, antara lain Sam Bimbo, Ita Purnamasari, Tantowi Yahya, juga pelantun lagu "Gajah", Tulus.

Di tempat terpisah, juga dalam peringatan Hari Musik Nasional di Cilandak Town Square (Citos), Deputi Hak Kekayaan Intelektual Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ary Juliano pun mengungkapkan hal serupa bahwa ke depan musik Indonesia harus bisa menjadi tuan di rumah sendiri.

Bekraf, menurut dia, akan berada di garis depan untuk mengantar musik di Tanah Air bisa menjadi tuan di negeri sendiri.

Saat ini, mereka terus mempersiapkan agar ekosistem musik yang sehat dapat terbangun dan kelak dapat memberikan keuntungan bagi pelaku musik Tanah Air.

Di sisi lain, sejumlah musisi juga tak mau tinggal diam. Secara sporadis, mereka juga bergerilya melakukan berbagai upaya untuk membuat iklim musik di Tanah Air makin membaik dan tak terpuruk.

Salah satunya yang dimotori musisi Glenn Fredly dengan program Musik Bagus Day. Acara ini rutin digelar setiap bulan di Citos, mempertemukan pengusaha, pelaku, dan penikmat musik di Tanah Air dalam satu wadah.

Selain menghadirkan panggung musik yang menampilkan sejumlah musisi, Musik Bagus juga menyuguhkan lokakarya yang membahas banyak hal.

Seperti #DengarBareng album terbaru, lokakarya produksi musik, lokakarya tentang peran dan sumbangsih tokoh-tokoh besar nasional bagi perkembangan musik Tanah Air, vokal dan perkusi klinik, hingga diskusi musik yang membahas berbagai persoalan musik.

Dari catatan penyelenggara, dari bulan ke bulan, eskalasinya semakin besar. Tak hanya dari para musisi yang memberikan respons positif untuk terlibat di ajang tersebut, tetapi juga dari sisi penikmat musik.

Kelas dua
Semangat tentu harus selalu besar, tetapi tenaga juga tidak boleh kurang.

Apalagi, di lapangan, musik Indonesia memang seolah masih menjadi warga kelas dua.

Ini dapat dilihat dari membeludaknya produk-produk musik luar negeri yang menggempur pasar musik Tanah Air tanpa ampun.

Sebagai gambaran, setiap bulan label-label rekaman besar skala internasional terus-terusan mengguyur pasar musik Indonesia.

Rilisan-rilisan baru musisi dan penyanyi luar negeri tak pernah berhenti, berbanding terbalik dengan rilisan untuk musisi dan penyanyi dalam negeri yang seolah seret.

Salah satu label internasional, misalnya, dalam satu bulan bisa merilis 12 album untuk artis dan musisi luar, tetapi hanya merilis satu album untuk musisi dalam negeri.

Tidak mengherankan apabila anak-anak muda, bahkan anak-anak kecil di Tanah Air, bisa dengan fasih menyanyikan lagu-lagu Barat, tetapi nyaris tak kenal dengan musisi atau penyanyi dalam negeri.

Bayangkan ada anak kelas II sekolah dasar yang memburu konser Ne-Yo di panggung Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2017 lalu atau fasih menyanyikan lagu-lagu Justin Bieber, tetapi tak kenal nama Raisa atau Tulus.

Padahal, Raisa untuk kedua kalinya menyabet gelar Best Pop Female Solo Artist di ajang Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2016, sementara Tulus dinobatkan sebagai Best Pop Male Solo Artist AMI 2016.

Lagu-lagu mereka pun cukup merajai tangga lagu di radio Tanah Air dan diputar berulang-ulang di radio.

Konser dan panggung musik yang menghadirkan musisi-musisi Tanah Air beberapa memang cukup dipadati penonton.

Misalnya, ajang Java Jazz Festival atau Synchronize Festival yang berhasil menyedot penonton hingga ribuan orang dalam tiga hari penyelenggaraan.

Meski demikian, perhatikan juga bagaimana konser musisi luar negeri yang digelar di luar Indonesia pun, seperti Coldplay, diburu penonton asal Indonesia. Mereka tak ragu merogoh kocek hingga jutaan rupiah demi menonton musisi luar negeri idola mereka.

Dengan "musuh" yang sedemikian besar, amunisi yang dimiliki pelaku industri musik di dalam negeri tampaknya masih terlalu kecil.

Hal ini, antara lain, menurut penyanyi Tompi disebabkan hingga kini baik pemerintah maupun musisi-musisi di Tanah Air belum bergerak bersama-sama untuk menjadikan musik Indonesia tuan di negeri sendiri.

"Masing-masing masih bergerak sendiri. Artisnya sibuk sendiri, pemerintahnya juga sibuk sendiri," ujar Tompi.

Dia mencontohkan bagaimana musisi di Tanah Air masih banyak yang terlalu cuek dengan perkumpulan yang mewadahi musisi. Persatuan Artis, Pencipta, dan Rekaman Musik Indonesia (PAPRI) misalnya.

"Maunya ada yang ngurusin. Yang sebenernya bisa kerja bener juga enggak mau terlihat dan akhirnya cuma bisa nyalahin kalau ada yang dianggap salah," ungkap Tompi dalam diskusi yang digelar di W&S Café di Citos, Jakarta.

Di sisi lain, pemerintah, khususnya Bekraf yang kini menaungi industri kreatif di Tanah Air, termasuk di dalamnya musik, masih berperan sebatas supporting system.

"Seharusnya Bekraf mengambil peran penting yang seolah kalau tidak ada Bekraf industri ini tidak akan hidup. Peran Bekraf harus kuat tanpa mematikan kreativitas seniman," tambah Tompi.

Dia berharap, dengan harapan yang sama, menginginkan musik Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kedua belah pihak bisa bahu-membahu melakukan tugas bersama. Dengan demikian, iklim musik di Tanah Air pun akan lebih bergairah.

"Mari sama-sama berbenah. Lebih aktif ikut menentukan musik di Tanah Air mau diapain," kata pemilik album T ini.

Dalam kesempatan yang sama, penyanyi Glenn Fredly mengungkapkan, dua hal yang menjadi masalah besar di industri musik Tanah Air adalah Indonesia belum memiliki industri musik yang sustain (berkelanjutan).

"Kita baru punya industri yang create yang instan. Jadi, bintang cepat muncul, cepat hilang tidak pernah dipikirkan secara sustain dari hulu hingga hilirnya," kata Glenn.

Persoalan kedua adalah soal pembajakan yang tak pernah usai meski zaman terus bergulir dan kini beralih ke digital.

Meski demikian, tentu tak berhenti di situ. Masa depan musisi Tanah Air hingga kini juga belum serius dipikirkan.

Begitu juga persoalan tentang database musisi dan penyanyi di Tanah Air. Bila hal seperti itu belum selesai, apalagi membukakan jalan bagi musisi-musisi muda bertalenta agar bisa tampil di ajang internasional.

Memang masih banyak pekerjaan rumah menanti. (DWI AS SETIANINGSIH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Maret 2017, di halaman 26 dengan judul "Menjadi Tuan di Negeri Sendiri".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com