Yakni, kandungan isi, makna sesungguhnya yang selalu sejalan dan mempertegas tanda “lahiriah” yang bisa kita langsung saksikan hari-hari ini. Dalam peristiwa bom, kampung Bali Mester yang dekat lokasi peledakan, sejatinya hendak digoyang dan dikoyak dengan keras.
Ada upaya “dekonstrusi simbol” oleh pelaku bom, meluaskan sekaligus melepaskan, menganggu dan mematahkan hakikat makna lama: kedamaian hidup, meski masyarakatnya saling berbeda-beda keyakinan.
Pesannya, bisa jadi “provokasi, dengan amunisi kebencian dan teror yang hendak dibiakkan di lokasi paling majemuk”. Peristiwa Bom menjadi metafora untuk berbicara sebagai sebuah gejala bahasa, sebuah pesan ancaman yang kuat.
Siapa saja yang menjadi aktor intelektual di belakangnya, dan entah motif politik yang disandangnya, betapa tega ia memporak-porandakan lokasi dimana kemajemukan telah terawat ratusan tahun lewat.
Ekspresi seni
Penulis pernah meneliti dan menyambangi lokasi untuk mengerjakan sebuah proyek seni dengan menimbang struktur dan kondisi psikologis masyarakat di Bali Mester. Setahun lalu, tepat beberapa hari menjelang bulan Ramadhan.
Dengan komunitas Jakarta Art Movement (JAM), Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), dan sejumlah komunitas street art, bersama-sama berkolaborasi dengan dua orang penari kontemporer dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) membuat kerja ekspresi seni di sana.
Pilihan street art, waktu itu, dengan menimbang bahwa street art dikenal publiknya sebagai seni yang salah satu elemennya memiliki kandungan bercorak politis. Politis dalam artian, motif produksi artistiknya yang terhubung dengan isu-isu sosial.
Ini bisa ditilik dari cara mereka “menguasai ruang publik yang non galeri dan museum ”, melawan tendensi komodifikasi seni dalam ruang-ruang kolektif yang eksklusif, sampai kegigihannya untuk berekspresi secara spontan dan jelas, semacam media propaganda sosial.
Sementara, dalam konteks tari kontemporer semakin meluaskan jaraknya dengan tak hanya mengeksplorasi plastisitas tubuh namun menjajal kemungkinan-kemungkinan relasi tentang raga, masyarakat dan wacana sosial yang menghilangkan tradisi panggung statis di ruang interior.
Kedua ekspresi seni ini bertemu, keduanya bersepakat dalam tajuk proyek seni “interaksi@toleransi 2016” yang dipicu oleh keprihatinan terhadap gejala ancaman intoleransi dan luruhnya semangat keberagaman di masyarakat kita. Bukan di Bali Mester, namun peristiwa-peristiwa di Indonesia, dan Jakarta khususnya pada tahun itu.
Wilayah itu, Bali Mester, diputuskan bersama antar seniman sebagai sebuah hamparan “topografi khusus” bagi komunitas-komunitas street art, menjadikannya segugus ikon hunian masyarakat kosmopolit yang ideal dan menjunjung kesetaraan. Dan sekarang, memasuki bulan suci Ramadhan, yang seharus dipenuhi atmosfir kesucian, peristiwa bom itu seolah-olah memudarkan tenunan kemajemukan di Bali Mester.
Mungkin, sudah waktunya seniman-seniman street art segera bergerak lagi membuat strategi propaganda sosial via seni untuk mengatakan “Tidak Takut” pada acaman dan motif serta dalih apapun di belakang sebuah kekerasan dengan peristiwa bom tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.