Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Saat Kekuatan Media Sosial Menggusur Arti Selebritas

Kompas.com - 08/08/2017, 07:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

PERKEMBANGAN information communication & technology (ICT) yang kian pesat secara faktual telah mempengaruhi banyak sendi kehidupan manusia. Salah satunya terkait kebiasaan seseorang dalam menerima informasi atau berita dari media massa.

Proses tersebut seringkali disebut media habit, yakni sebuah kebiasaan seseorang dalam mengonsumsi berita lewat media dalam kurun waktu tertentu, sejak dia bangun hingga dirinya terlelap.

Media habit ini setidaknya bisa menjelaskan mengapa pertumbuhan media cetak kian meredup dan disisi lain media online menjamur bak cendawan di musim hujan.

Baca juga: Vlog "Lucu-lucuan" yang Menyuburkan Sikap Kritis

Studi terkait media habit ini tidak bisa digeneralisasi secara sederhana, karena pada dasarnya menyangkut berbagai macam preferensi dan variabel. Utamanya terkait usia dan minat. Karenanya, tulisan ini mencoba membedah fenomena itu dalam batasan-batasan tersebut.

Generasi X, Y, dan Z

Pada Januari 2017, Hootsuite dan We Are Social mengeluarkan data pengguna internet di Indonesia sebanyak 132,7 juta dengan penetrasi pertumbuhan mencapai 51 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Total pengguna media sosial aktif mencapai 40 persen atau sekitar 106 Juta.

Dari jumlah tersebut 92 juta mengakses lewat gawai atau 35 persen dari jumlah populasi. Atas itu semua, Indonesia per Januari 2017 menempati urutan ke-4 pertumbuhan pengguna media sosial secara global sebesar 34 persen.

Angka tersebut di bawah Saudi Arabia 73 persen, Uni Emirat Arab 46 persen, dan India 40 persen.

Data terbaru, ditegaskan kembali Nielsen dalam laporan Nielsen Media Consumer tahun 2017 yang baru dikeluarkan akhir Juli ini. Laporan itu merilis penetrasi media masih didominasi oleh televisi di angka 96 persen dan media luar ruang 53 persen.

Tetapi perkembangan internet secara pasti terus merangsek secara progresif di posisi ketiga menyentuh angka 44 persen atau setara 24,2 juta jiwa. Capaian ini melonjak jauh dari angka 5 tahun lalu, yang baru menyentuh angka 26 persen.

Setidaknya saat ini internet telah mengalahkan radio (37 persen), kemudian secara telak meninggalkan media cetak (7 persen) dan tabloid majalah (3 persen).

Angka lainnya juga menyuguhkan fenomena internet dan sinema menjadi pilihan terbanyak oleh generasi muda untuk mendapatkan informasi. Seluruh angka tersebut secara berurut di dominasi oleh Generasi Z, kemudian Y dan X. Apa itu? 

Media habit dalam sisi usia menemukan konfigurasi baru dengan keberadaan Generasi Z yang lahir antara tahun 1995 - 2012. Berbeda dengan Generasi X yang lahir dari tahun 1980-1990 dan Y yang lahir tahun 1960 - 1970 akhir.

Generasi Z umumnya terkoneksi dengan internet sejak awal usia (native digital), sedangkan generasi X dan Y menerima teknologi tersebut di pertengahan usia dan awal dewasa (migrasi).

Bagi generasi X cara mereka mendapatkan informasi berita dari radio dan media cetak, sedangkan bagi generasi Y ditambah dengan televisi. Generasi X dan Z secara jelas berbeda dengan generasi Z yang enggan membaca koran, kurang mendengar radio, dan jarang menonton TV.

Lalu darimana mereka mendapatkan informasi? Dari internet lewat smartphone dan berbagai macam fitur media sosial. 

Generasi X dan Y sebelum adanya terpaan internet, sesungguhnya dalam mengonsumsi informasi dari media memiliki pola dan siklus yang relatif stabil. Jam tayang utama atau prime time bagi generasi ini pada pagi hari jam 07.00 – 09.00 WIB dan di sore hari pada pukul 19 – 22.00 WIB.

Ternyata situasi ini ini tidak berlaku bagi generasi Z, karena prime time menjadi tidak terlalu ada batasan waktu yang sangat tegas. Meski ada kajian yang menyampaikan bahwa prime time di media sosial dibagi tiga: pagi, siang, dan malam.

Namun sesungguhnya prime time bagi generasi Z terjadi sejak smartphone dipegang dan dinyalakan. Terlebih data Hootsuite menunjukan bahwa hampir 62 persen orang mengunjungi jejaring sosial menggunakan smartphone, sisanya 16 persen dari komputer dan tablet yang hanya 6 persen.

Dalam mengonsumsi berita lewat media pada umumnya, generasi Z dan Y ada beberapa media rujukan utama (mainstream) sebagai sumber referensi utama. Darinya mereka mengambil informasi dan mengambil kesimpulan tentang sebuah kejadian.

Namun bagi generasi Z, sumber informasi utama tidak lagi bermakna tunggal dan melulu berbasis media. Informasi dapat diterima dan disebarluaskan bukan hanya dari media utama, namun juga dari selebritas atau gate keepers yang dianggap memiliki akses terhadap informasi utama.

Semisal, seorang yang berkerja di institusi tertentu dengan kewenangannya dapat membagi pesan kepada orang lain berbekal akun medsos yang dimiliki. Bisa juga seorang yang kuliah di luar negeri, melakukan reportase dengan format vloging secara swavideo terkait kejadian dan berita tertentu.

Karenanya saat ini narasumber berita tidak lagi orang, namun juga akun resmi orang tersebut di media sosial yang terverifikasi ataupun tidak. Bukankah kita sering temukan bahwa seorang selebritas dijadikan objek berita, saat dirinya mengunggap gambar atau video terkait kehidupan pribadinya yang bernilai berita.

Memetakan transformasi

Penulis secara empirik dalam beberapa kali kesempatan melakukan observasi sederhana dan survei "kecil-kecilan" di ruang kuliah. Kepada mahasiswa, penulis sering bertanya bagaimana cara mereka mendapatkan informasi atau berita.

Pada umumnya mereka menjawab mendapatkannya dari media sosial. Jikapun mereka lihat televisi, tak jarang itupun dari rekaman yang tersedia di media sosial.

Mereka mendengarkan radio dari sharing aplikasi jejaring obrolan media sosial dan jarang membaca media cetak karena sudah ada di media online (e-paper).

Generasi Z ini jumlahnya cukup banyak, hal ini diteguhkan dengan lansiran data dari New York Post, David Stillman, salah satu penulis “Gen Z @ Work: How the Next Generation is Transforming the Workplace”, mengatakan, populasi generasi Z saat ini sudah mencapai 72,8 juta orang.

Baca juga: Jokowi Unggah "Vlog" bareng Presiden Erdogan

Data tersebut terbagi dalam berbagai cluster  atau dalam analisis jaringan komunikasi dikenal dengan nama "klik". Bersamaan dengan itu, tumbuhlah beragam minat yang lebih spesifik didukung dengan semakin mudahnya akses terhadap internet.

Dalam jumlah yang massif hadirlah "virtual common sense". Dari itu semua itu kemudian muncullah idola dan selebritas baru yang keluar dari "patron" media mainstrem, yang di-subscribe dan di-follow oleh ribuan bahkan jutaan virtual account.

Mereka ditasbihkan sebagai Youtubers, Vlogers, Blogers, Facebookers, Selebgram, Buzzer (Twitter), dan lain sebagainya.

Mereka bukan selebritas yang sering muncul di televisi, tertulis di koran, atau terdengar di radio. Malah tidak jarang pada akhirnya selebritas media sosial itu jadi narasumber di berbagai medium tersebut, dengan alasan mereka menjadi subjek yang diperbincangkan warganet atau netizen secara massif.

Istilahnya, menembus batas! Sebutlah beberapa nama yang eksis di Youtube dan Instagram, ada Ria Richies, Awkarin, Gita Shaf, Gen Halilintar, dan lain sebagainya.

Adapun di Twitter dari mulai politisi hingga pekerja seni. Masuk dalam list ini di media sosial twitter @tsamaraDKI milik Tsamara Amany, Presiden Indonesia ke 6 @SBYudhoyono dan lain sebagainya.

Para selebritas itu menggunggah atraksi atau tema yang serius hingga hanya bercirikan keseharian dan hal-hal yang enteng dan remeh, bahkan penuh kontroversi.

Ternyata itu yang paling disuka dan banyak digemari. Semisal "Putus Pacar Awkarin", "Review Mobil", "Tips menaklukan Cewe dalam 10 Menit", "Foto2 Narsis", "Parodi ringan", dan lain sebagainya.

Di laman media sosial, seorang selebritas tidak hanya dilihat dari kemampuannya semata bernyanyi atau berlaku dalam lakon peran. Lebih banyak lagi varian ekspresi yang disuguhkan secara customize bagi netizen.

Atas itu semua, maka muncullah fenomena ustaz Youtube, kemudian traveler, chef, magician, dan lain sebagainya. Di sinilah titik tumbuk selera narcisme bertemu pasarnya secara alamiah.

Sigmund Freud, seorang psikolog tersohor, menjelaskan narsisme sebagai kepribadian seseorang yang mengejar pengakuan dari orang lain terhadap kekaguman dan kesombongan egoistik akan ciri pribadinya.

Akun medsos menjadi kanal efektif narsisme kepribadian yang pada akhirnya diakui oleh orang lain dalam bentuk ribuan "likes" atau "love". Setali tiga uang, beragam iklan menyemut di pusaran tersebut secara langsung maupun tidak.

Maka, semenjak saat itu ruang kreatif dan laman selebritas virtual punya prasyarat tambahan, account atau channel-nya harus mampu di-monetize atau dikapitalisasi sesuai dengan target produk yang melekat kepadanya.

Hemat penulis, sejak saat itu kita sesungguhnya tidak bisa lagi memandang bahwa postingan tersebut sebagai sebuah pekerjaan indie atau sukarela biasa, tapi sudah menjadi industri tersendiri yang memiliki karakter dan segmentasi pasar yang unik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com