Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mulia Nasution
Jurnalis

Jurnalis yang pernah bekerja untuk The Jakarta Post, RCTI, Transtv. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini, dan praktisi public relations . Kini menekuni problem solving and creative marketing. Ia mudah dijangkau email mulianasution7@gmail.com

Simpul Literasi Media, Maecenas, dan Orang-orang di Panggung Kesunyian

Kompas.com - 19/09/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 Kebetulan di tahun 1999 hingga 2002 di awal reformasi dengan tumbangnya Soeharto, di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, selalu ramai tokoh sekadar berbual perkembangan politik mutakhir Tanah Air yang terancam oleng.

Sejumlah aktivis seperti Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Mayasyak Johan, Beathor Suryadi, atau akedemisi seperti Dr Kastorius Sinaga, Dr Fajri Alihar, pelukis Lian Sahar dari Yogya, Wisran Hadi dari Padang, dan Leon Agusta, sering hadir di kantornya sekadar berbual kesenian, membahas politik mutakhir sambil menikmati cerutu Havana di senja yang temaram.

Sumbangsih Ali Djauhatri saat Fikar W Eda dan kawan-kawan menggagas KaSuha maupun buku antologi budaya Aceh Mendesah Sampai Jauh, sangat konkrit. Kampanye KaSuha pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh, memberi penyadaran masyarakat bahaya militerisasi di tengah peradaban manusia maupun bangsa-bangsa dunia.

Presiden Abdurrahman Wahid memberi apresiasi terhadap aktivitas KaSuha maupun sang maecenas Ali Djauhari. Pentas KaSuha di TIM atau Taman Ismail Marzuki pada April tahun 2000, sedianya dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Namun problem politik terjadi di Istana dan berakhir dengan melengserkan dua orang menteri, sehingga Gus Dur batal hadir secara mendadak. Sebagai penebus rasa bersalah Gur Dur, ia mengundang aktivis budaya untuk melangsungkan performance di kediaman pribadi Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Saat saya salah satu pengasuh program semi-dokumenter Nol Kilometer—perpaduan baca puisi (di antaranya Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sanggar Matahari) dengan feature—dirangkai secara apik oleh host Ade Novit.

Nol Kilometer tayang dua kali sepekan selama 6 bulan di prime time dan tanpa jeda iklan komersial. Beberapa topik Nol Kilometer secara kultural dirangkai dalam bingkai semangat otonomi daerah, pluralisme budaya, lintas wilayah.

Pemimpin redaksi Seputar Indonesia masa itu Djafar H Assegaff dan wakilnya Andi F Noya, memberi andil bagi penyadaran masyarakat agar ancaman disintegrasi dapat terusir. Itu sumbangsih dan wacana intelektual RCTI—yang tak boleh dilupakan sejarah Indonesia modern pasca-reformasi.

Meski RCTI dimiliki oleh anak Pak Harto, perdebatan seru di newsroom tidak pernah dimonopoili oleh seorang pemimpin redaksi, apalagi oleh pemilik perusahaan. Selalu ada siasat cerdik awak redaksi di dalam menyiasati pesanan berita para ‘dewa’ atau pemilik holding company yang menaungi RCTI masa itu.

Saat saya mendapat penugasan newsroom RCTI membuat semi-dokumenter mengenai penyebaran Islam melalui saudagar Minangkabau di Singkil, Aceh—Ali Djauhari yang putra Singkil secara halus malah menolak bicara.

Ia mengusulkan Dr Fajri Alihar sebagai narasumber. Fajri Alihar sebagai peneliti demografi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memang putra Singkil, mencatat peran ulama Abdurrauf Singkil atau Syekh Abdur Rauf as-Singkili sebagai ulama besar dan mufti pada Kerajaan Aceh di abad 17.

Meski Ali Djauhari kini fokus pada perdagangan di negara-negara Timur Tengah, ia tetap seorang maecenas yang secara intelektual melewati batas usianya.

Saat Kepala Anjungan Sumatera Utara di TMII, Tatan Daniel, dan etnomusikolog Rizaldi Siagian MA, menggagas kebangkitan Ronggeng Melayu— kesenian tradisi yang dulu hadir di Sungai Deli dan telah punah oleh pembangunan ekonomi, Ali hadir sebagai salah satu penyokong dana.

Rizaldi Siagian adalah konseptor dan sutradara Megalikum Quantum saat ulang tahun Kompas ke-45 tahun 2005, sedangkan Tatan Daniel—birokrat yang sebenarnya seniman—dapat menghidupkan anjungan bersama beragam aktivitas seni.

Alhasil kebangkitan semangat literasi media maupun berkesenian ini ditoreh pula oleh Tena atau Teater Nasional. Melalui pentas monolog Prita Istri Kita karya Arifin C Noer di TIM, Sabtu (16/9).

Tena adalah kelompok teater tua yang berdiri tahun 1963. Di antara pendirinya, Burhan Piliang, aktor dan sekaligus sutradara teater. Burhan yang pernah menjadi fotografer majalah Tempo dan majalah Prospek, meninggal dunia dalam insiden kecelakaan helikopter saat ia melakukan pemotretan bagi keperluan pemetaan wilayah.

Pernyataan Sori Siregar, pendiri Tena yang masih hidup, layak disimak. Pendiri Tena tidak ingin banyak dikenal, apalagi mengungkap jati dirinya. Cukup hanya nama dan karya mereka yang diketahui. Di antara pendukung utama Tena adalah komikus Taguan Hardjo—yang merelakan rumahnya sebagai tempat awal berkiprah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com