Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mulia Nasution
Jurnalis

Jurnalis yang pernah bekerja untuk The Jakarta Post, RCTI, Transtv. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini, dan praktisi public relations . Kini menekuni problem solving and creative marketing. Ia mudah dijangkau email mulianasution7@gmail.com

Simpul Literasi Media, Maecenas, dan Orang-orang di Panggung Kesunyian

Kompas.com - 19/09/2017, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Dari sekelumit pengalaman subyektif ini, saya menyadari kesenian dapat tumbuh dari semangat kreatif dan bersemat egalitarian di dalam komunitasnya.

Lebih tumbuh subur bila sosok yang punya kepedulian besar seperti maecenas Ali Djauhari, atau tokoh-tokoh yang melakukan pengasahan kepada publik seperti As Atmadi, Dalika Tadaus, Burhan Piliang di Medan, dan Mursal Esten, serta Wisran Hadi di Padang pada masanya.

Di Yogya suatu masa pernah ada Umbu Landu Paranggi melalui mingguan Pelopor Yogya. Orang-orang ini berada di panggung, namun panggung yang sunyi. Bukan orang yang ingin pribadi mereka menonjol, tapi karyanya yang berbicara kepada khalayak. Jauh dari atribusi maupun publisitas ala infotainment.

Melalui monolog Prita Istri Kita, Tena juga bertekad ‘membangkit batang tarandam’. Sebuah kerja yang tak sederhana, apalagi ringan. Bukan materialisme yang jadi ujung tombak semangatnya, melainkan ekspresi human being, jiwa-jiwa berkarya, dan lelah memeloti dunia politik Tanah Air dipenuhi semangat partisan, oportunis, dan para demagog.

Lelah menonton politisi super kaya tapi diperbudak kekuasaan, pengusaha yang berbisnis dalam koridor unfairness, dan orang-orang jumawa yang berbangga menyemai hawa nafsu rendah. Saya selalu ingat kata-kata Ali Jauhari, ”Uang bagi saya hanya sekadar alat tukar….”. Sebuah kesadaran ruang, dan waktu. 

Di masa kini,dan masa datang, Republik yang sangat luas ini butuh banyak penggerak literasi media—yang tulus bekerja, maecenas yang tak hanya bersiasat dapat untung besar dan popularitas, dan orang-orang yang merindukan panggung sesungguhnya meski tempat terhormat bagi mereka hanya ‘panggung yang sunyi’.

Semestinya petinggi negara ini punya rasa malu dan menghargai sumbangsih Hamsad Rangkuti bagi literasi kesusastraan Tanah Air. Hamsad yang kini terbaring sakit di tengah kekurangan biaya berobat, negara seharusnya hadir sebagai induk semang yang sesungguhya bagi para pengabdi kebudayaan.

Baca juga: Sang Maestro Cerpen Hamsad Rangkuti Itu Kini Tergolek Tak Berdaya

Saya punya pengalaman tragis saat mengunjungi Leon Agusta terbaring sakit di RS Cikini tahun 2013, ia kesepian dan ‘papa’ dari segala-galanya, sampai ajal menjemput di kota Padang beberapa tahun kemudian.

Pembangunan kebangsaan bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur kebudayaan yang konkrit beserta amunisinya. Tak sedikit anak-anak muda bertalenta, akhirnya memilih jalan sunyi dengan meninggalkan Tanah Air, sebab negara lain lebih menghargai talenta maupun karya mereka.

Pekik Presiden Joko Widodo, "Saya Indonesia, Saya Pancasila” hanya jargon usang bila tidak mendapat ruang implementasi nyata. Bukankah revolusi mental yang sesungguhnya harus ada pada petinggi negeri, aparat birokrasi, aparat keamanan, aparat militer, penegak hukum, dan seluruh jajaran mereka.

Bukan pada rakyat yang lelah melihat keculasan politisi, oknum birokrasi maupun orang-orang super kaya memamerkan kecongkakan harta di tengah sebagian besar masyarakat kita yang masih miskin dalam arti sesungguhnya.

Literasi media dan literasi kesusastraan, dibutuhkan agar semua ini bukan hanya cita-cita dan retorika belaka. Kehadiran maecenas setidaknya dapat menghibur dahaga kita di tengah padang sabana yang luas ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com