TAHUN ini saat yang tepat membincangkan sayembara seni. Ajang kompetisi yang digelar semarak tiap tahun atau beberapa tahun sekali yang menghadirkan para perupa pemenang dengan karakter ekspresi beragam.
Sejumlah penyelenggara tampil dengan ciri khasnya tersendiri dalam mengelola kompetisi tersebut.
Sebenarnya, tak terelakkan jika perbincangan tentang sayembara seni bertaut pula dengan sejarah seni rupa dan sejarah besar bangsa ini pada masa-masa revolusi fisik.
Tatkala keindonesiaan di kancah internasional menjadi hal yang sangat layak diperjuangkan. Mempertahankan eksistensi Republik yang masih muda itu. Sementara, sayembara seni menjadi satu penanda ingatan tentangnya.
Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II atau Operatie Kraai (Operasi Gagak) membumihanguskan Yogyakarta via lapangan terbang Maguwo. Yogyakarta saat itu menjadi Ibu Kota Indonesia.
Baca juga : Dwi Rupa Bumi, Pameran Nasirun dan Trie Utami
Selanjutnya, seperti yang dicatat sejarah bahwa Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh nasional lain ditangkap, yang membuat terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Beberapa bulan sebelumnya, pada tanggal 6 September 1948, di Niew Kerk, Amsterdam, pelukis kita R Basoeki Abdullah berhasil memenangkan sayembara melukis yang diselenggarakan dalam rangka penobatan Ratu Juliana, dengan mengalahkan sejumlah pelukis Eropa ternama.
Kemenangan inilah yang sempat membuat marah Raja Keraton Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, yang menuduh Basoeki sebagai pelukis yang tidak nasionalis. Karena rekan-rekan seniman dan seperjuangan lainnya bertempur antara hidup dan mati di Yogyakarta, sementara Basoeki ada di Amsterdam bersama sang Ratu.
Polemik negatif tentang sayembara ini, kemudian dibantah oleh Basoeki dalam wawancaranya dengan saksi-saksi sejarah dan justru merupakan fakta yang beraura sebaliknya.
“Saya waktu itu berhasil mengalahkan para pelukis-pelukis sohor Eropa, dan mampu melukis poret diri Ratu Juliana tepat di singgasananya. Seringkali saya hanya berdua dengan Ratu di kamarnya. Bisa saja saya membunuhnya. Tapi tidak saya lakukan. Justru dengan seni, saya ingin tunjukkan bahwa seorang bumiputera mampu sederajat adab-nya dengan bangsa Eropa. Ini adalah kemenangan bagi bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda,” ujar Basoseki Abdullah dalam sebuah kesempatan.
Sejak saat itu, sebagian orang Eropa mengenal sosok Basoeki Abdullah, putera Indonesia yang menunjukan pada dunia bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa terperdaya. Namun memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain karena seni budayanya.
Peran sayembara seni kemudian berlanjut makin terang benderang pun amat dinamis. Berbagai kompetisi seni dihelat dalam upaya mencari bakat-bakat baru para pelukis serta memunculkan karya-karya yang lebih progresif sesuai semangat zaman (zeit geist)
Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I (PBSLI I) oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 1974, dengan pilihan-pilihan yang dianggap pemenang pada pameran seni lukis yang kontroversial oleh Dewan Juri akhirnya malahan mencipta fenomena “Black Desember”.
Peristiwa itu melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dan hadirnya para jawara seni kontemporer generasi awal di Indonesia. Meskipun kompetisi PBSL I diitikadkan sebagai pameran yang lebih baik oleh Dewan Juri, namun secara berseberangan memunculkan gejala baru yang unik dalam sejarah seni kita dengan GSRB.
Selanjutnya pada 90-an, kita mengenal Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI) dengan dukungan korporasi internasional Phillip Morris yang giat menyelenggarakan kompetisi seni sejak 1993 dengan beragam kontroversinya. Memunculkan nama-nama perupa muda yang kuat pada zamannya seperti Nasirun, Ay Tjoe Christine, Hanafi, S Teddy D, Galam Zulkifli sampai Mangu Putra.