Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Wiji Thukul "Kembali" Melantunkan Puisinya di Solo...

Kompas.com - 17/12/2018, 13:50 WIB
Retia Kartika Dewi,
Bayu Galih

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com 

 "Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli

Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu..."

Seorang lelaki kurus berkaus putih melantunkan syair itu dengan penuh penghayatan. Raut mukanya begitu ekspresif saat melantunkan kalimat-kalimat itu menjadi suatu musikalisasi puisi.

Mata lelaki itu sesekali melotot. Kata-kata dilontarkan dari mulutnya yang tak pernah diam. Terkadang mulutnya terbuka penuh hingga dagu lelaki itu terlihat kotak, terkadang membentuk huruf "O" yang memperlihatkan gigi depannya yang agak maju ke depan.

Lelaki itu Wiji Thukul. Penyair dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu sudah 20 tahun lebih menghilang, atau dihilangkan, akibat aksi politiknya yang kerap mengkritik rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.    

Setelah lebih dari dua dasawarsa menghilang, lantunan puisi Wiji Thukul kembali terdengar di Solo, kota yang menjadi tempat tinggalnya.

Aksi Thukul membacakan sajak "Apa Guna" itu kembali terlihat di Solo dalam sebuah adegan film Nyanyian Akar Rumput (2018), yang diputar di Omah Sinten pada akhir pekan kemarin, Sabtu (15/12/2018).    

Pemutaran film ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) dunia yang diperingati tiap tanggal 10 Desember.

Baca juga: "Istirahatlah Kata-kata", Sudut Sepi Pengingat Wiji Thukul

Namun, Nyanyian Akar Rumput bukan cerita mengenai Wiji Thukul. Film yang disutradarai Yuda Kurniawan ini berkisah tentang keluarga yang ditinggalkan Wiji Thukul saat dia terpaksa meninggalkan Solo karena diburu rezim Orde Baru pada pertengahan 1996. Saat itu, PRD menjadi kambing hitam atas peristiwa 27 Juli 1996. Pengurus partai, termasuk Wiji Thukul, kemudian diburu aparat.

Nyanyian Akar Rumput menceritakan tentang kehidupan istri Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon), dan kedua anak mereka, Fajar Merah (24), dan Fitri Nganthi Wani (29) setelah Thukul hilang.

Mereka masih tinggal dan beraktivitas di Solo, kota yang menjadi saksi saat Thukul aktif menyuarakan kritiknya melalui puisi dan teater, serta membela kaum buruh.

Film berdurasi 1 jam 47 menit ini menggambarkan keseharian Sipon yang kini mengandalkan pendapatannya dari kemampuannya sebagai penjahit.

Nyanyian Akar Rumput juga memperlihatkan beratnya bagi Sipon kehilangan sang suami, yang terlihat saat dia menceritakan kenangan yang dimiliki saat masih bersama.

Sedangkan, Wani dan Fajar melanjutkan hidup dengan tetap memaknai perjuangan ayahnya. Bahkan, Fajar tetap menyuarakan puisi-puisi yang ditulis ayahnya, termasuk "Apa Guna" yang diperlihatkan dalam film.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau