PERISTIWA pembunuhan pada orang-orang yang sedang beribadah di Masjid pada 15 Maret 2019 di sebuah kota kecil, Christchurch, di New Zealand menghentak dunia.
Simpati dan empati terhadap komunitas Muslim berdatangan baik dari pimpinan politik tertinggi dunia sampai masyarakat biasa.
Mereka secara global berduka, sejalan dengan itu menguatkan masyarakat Muslim, bahwa Islam sebagai religi dan pembawah risalah kedamaian – seperti memaafkan peristiwa pembunuhan tersebut dari keluarga korban, telah dibincangkan kembali parasnya.
Dengan segera jejak-jejak Islam selama ratusan tahun pada masa lalu kembali terngiang-giang di benak pada bulan-bulan ini.
Baca juga: Mengapa Harus Mengisi Liburan ke Museum Nasional?
Sementara di Tanah air, keprihatinan kembali hadir tatkala yang muncul dari hari ke hari di masyarakat meruyaknya fenomena pengentalan identitas. Utamanya musim kampanye Pilpres (Pilihan Presiden) yang memancing kerawanan konflik berlatar identitas keyakinan.
Media sosial dipenuhi isu-isu mengenai religi, yang cenderung dipelintir menjadi fitnah atau hoaks, membuat kita tercenung dan gamang.
Tak ada jalan lain, kita bersama sejenak menoleh pada jejak-jejak budaya Islam yang dianggap memberi bukti “toleransi dengan pemeluk religi lainnya”.
Bisa jadi artefak patung, elemen arsitektur, lontar, kaligrafi, perhiasan, mahkota atau baju pun “jimat” yang bisa mengungkap makna: Islam yang teduh, Islam yang toleran, Islam yang utuh.
Hanya kembali kepada ke sejarah, tempat di mana kita semua berefleksi, yakni museum akan membawa pelajaran berharga dari masa lalu ke masa kini.
Penulis kembali menyusuri artefak demi artefak, membuka narasi-narasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, dengan catatan-catatan para ahli (baik sejarawan, arkeolog maupun kurator museum) dan bertandang langsung ke Museum Nasional.
“Museum, dalam hal ini Museum Nasional Indonesia sangat membuka diri pada publik. Jadikan tempat ini sebagai upaya perawat kebinekaan yang dalam waktu sama menebalkan pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai azali bangsa ini,” ungkap Siswanto, Direktur Museum Nasional Indonesia kepada penulis.
“Tapi, kita bisa belajar banyak pada penanda-penanda masa silam yang otentik tentang Islam” ujar Siswanto menekankan.
Penulis meresponsnya, dengan hanya bergumam sejenak, “Andai saja ada sebuah debat terbuka calon presiden yang tak dilakukan di hotel yang mewah, tapi di sebuah museum alangkah menentramkan hati. Bukankah, dengan berargumentasi pada lawan debat di antara objek-objek masa lalu yang penuh hikmah, akan menghindarkan kesembronoan berbicara, setidaknya mereka akan sangat berhati-hati?”
Jejak Islam Nusantara