Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Menenggang Empati, Berkunjung Ke Museum Nasional

Kompas.com - 31/03/2019, 21:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mahkota yang dikenakan oleh Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899) pada seremoni penganugerahan sebagai raja, adalah bukti kemampuan seni tinggi klasik pengolahan emas abad-abad itu.

Mahkota Emas atau Regalia, 1845, Kutai, Kalimantan Timur.
Foto Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel.Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel Mahkota Emas atau Regalia, 1845, Kutai, Kalimantan Timur. Foto Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel.
Ini menunjukkan seniman-seniman terampil dalam craftsmanship terus saja dari generasi diturunkan tanpa pandang bulu, mereka berasal dan memiliki keyakinan religi seperti apa. Mahkota seberat 2 kg ini berlarik tujuh pagoda di depan dengan pola bunga dan untain-untaiannya.

Konstruksinya akan seperti membentuk meninggi dan melingkar yang disebut sebagai brunjungan dihiasi tujuh berlian dan gambar burung garuda di belakangnya.

Kita beralih pada objek kain, atau warisan sejarah tentang tekstil. Kain tampan, yang biasa digunakan dalam ritual adat di daerah Lampung dan kemudian tenar di seantero Indonesia, sebenarnya adalah kekhasan kain model produksi tenun yang digunakan sejak lama di kawasan Asia Tenggara.

Dari ilustrasi dapat dilihat pengaruh Islam di sana yang bertemu motif dan corak Hindu-Budha. Kain-kain yang biasanya berwarna cerah, kita lihat dominan dengan warna merah yang hangat dengan kekuatan spiritualitas bersimbol pola segitiga, pohon kehidupan yang menyatu tersebut.

Dua pedang ganda di bendera yang ada di perahu adalah pedang Zulfikar, yang menurut hikayat adalah pedang dari Khalifah Ali Ibn Abi Thalib. Pedang ini biasa terinskripsi dari perhiasan-perhiasan dan kain yang dikenakan bangsawan pada masa Islam.

Kemudian kita berlanjut ke Nusa Tenggara Timur, ke Pulau Rote. Di Museum Nasional kita akan menyaksikan bagaimana kultur Islam yang kaya, yang pada masa lalu teks-teks suci dalam Kitabullah atau semacam doa-doa untuk keselamatan ditorehkan di baju atau kain-kain khusus sebagai pelindung.

Semacam izim atau jimat. Kebiasaan ini, terwariskan dari budaya Hindu, yang para nelayan Rote tatkala bersiap melayari lautan mengenakan baju-baju tersebut.

Ada simbol-simbol teks diantara huruf Arab yang menyerupai segugus gambar beberapa ekor macan. Ini mengingatkan kita, bahwa lambang Kesultanan Cirebon juga rangkaian kombinasi dari kaligrafi menyerupai bentuk tersebut.

Pesan yang hendak disampaikan adalah: keberanian dan permohonan perlindungan di lautan luas dengan memakai asma Allah SWT.

Pada akhirnya, membaca kumpulan tulisan dan buku para arkeolog, atropolog, sejarawan maupun ahli seni klasik sembari mengunjungi Museum Nasional adalah oase kenikmatan nalar dan rasa yang tak ada habisnya direguk.

Tentunya, ini merupakan kesegaran-kesegaran ruhani diantara fenomena banalnya kontestasi politik menjelang bulan April ini. Ayuk berkunjung ke Museum. (Bambang Asrini Widjanarko)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau