Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Menenggang Empati, Berkunjung Ke Museum Nasional

Kompas.com - 31/03/2019, 21:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kembali kita menyusuri jejak-jejak budaya Islam, yang bagi orang awam, terutama Islam dilekatkan pada era Wali Songo, yang muncul pertama kali di Jawa Timur (Maulana Malik Ibrahim) pada abad ke-14 sampai ke-15, yang selalu memikat hati.

Atau, catatan-catatan ahli pengobatan, Tome Pires, dalam Summa Oriental dalam lawatannya, jauh sebelum era itu mengabarkan pada kita.

Baca juga: Hari Pahlawan, Yuk Lihat Pameran Surat Pendiri Bangsa di Museum Nasional

 

Sebagian ilmuwan juga meyakini, hadirnya Islam, jauh melampaui dari abad-abad “kejayaan Wali Songo” saja, yakni dengan adanya artefak berupa nisan Fatimah Binti Maimun dari keturunan Persia (atau Turki?) pada sekitar abad 11-10, di kampung Leran, Gresik, Jawa Timur.

Dengan panduan buku almarhum Uka Tjandrasasmita, seorang arkeolog senior dalam bidang Islam di Nusantara mungkin akan menghindarkan kita dari kesesatan asumsi bahwa Islam hari ini merupakan hasil utuh hanya dari satu kawasan, yakni: Arab, Timur Tengah.

Uka, dengan keluasan ilmunya mengantar kita begitu kompleksnya paras Islam, terutama budaya yang yang kemudian mengalami akulturasi dengan nilai-nilai lokal, yang membawa kekayaan majemuknya negeri-negeri di teritori Nusantara, yang membedakan dari kawasan-kawasan lainnya, seperti Persia, China dan India (Gujarat) secara bertahap sampai saat ini.

Uka bahkan menelisik, bahwa Islam datang pada abad ke-7, dengan eksistensi kerajaan besar Malaka dan hubungannya dengan Pulau Sumatera dan tentu saja, daerah Palembang (Sriwijaya) serta pengaruh-pengarunh dinasti-dinasti di China yang dapat dideteksi di sana.

Uka mengombinasikan ilmu arkeologi dan sekaligus etnologi dengan sejarah dan berbagai disiplin keilmuan seperti antropologi, seni, sastra seperti: hikayat, tamboo, narasi babad lokal sampai catatan-catatan peziarah asing layaknya I-Tsing, Marcopolo atau Rabindranath Tagore, zaman kolonialisme Belanda dan lain-lain.

Salah satu yang menarik dari tulisan Uka, yang bisa ditemui artefaknya di Museum Nasional adalah seni bangun atau arsitektural Islam yang begitu jamak bentuknya, dengan membebaskan ekspresi dengan mengambil elemen-elemen Hindu-Budha.

Replika Masjid, Abad 18, Jawa Timur, Kayu dan Bambu, 145x82x122cm.
Foto Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel.Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel Replika Masjid, Abad 18, Jawa Timur, Kayu dan Bambu, 145x82x122cm. Foto Arsip Museum Nasional dan Buku Archipel.
Replika masjid abad ke-18/19 bisa ditemui di sana. Jika dilihat jejaknya, ada akulturasi dengan kekhasan masjid-masjid kuno beratap tumpang/berundak-undak, yang berasal dari abad ke-14, yang mengambil bentuk bangunan masa pra-Islam yang disebut Meru.

Kita bisa kenali jika dikaitkan dengan relief candi-candi di Jawa Timur, seperti Candi Surawana, Penataran atau Kedaton, dan Jago yang bahkan bangunan-bangunan semi-modern yang bisa kita temui di bangunan-bangunan Pura di Bali sampai sekarang.

Pada beberapa replika masjid kuno, pintu-pintu atau akses masuk ruangan utama Masjid banyak yang dibuat rendah, yang berguna memaksa orang harus hati-hati agar tidak terantuk kepalanya jika memasuki pintu utama.

Konstruksi tersebut, sangat mungkin adalah upaya penghormatan terhadap masjid, seperti yang termaktub pada Al-Quran (Surat At Taubah 17-18). Masjid-masjid ini tetap berfungsi untuk beribadah, dengan menimbang bukan bentuknya namun fungsinya, yang mengagungkan asma Tuhan dalam Islam.

Selain itu, dalam ilmu morfologi, yang diadaptasi dalam seni bangunan, ada proses transformasi bentuk-bentuk khusus, terutama atap yang bertingkat-tingkat pada masjid adalah penyesuaian lokalitas lklim tropis. 

DI iklim tropis, acapkali hujan dan udara dingin (sebagai sirkuit ventilasi), yang membedakan iklim sahara yang teramat kering di Timur Tengah dan negeri-negeri Islam lainnya.

Artefak lainnya, adalah mahkota atau Regalia, yang dalam bahasa Kalimantan Timur adalah Ketopong. Seperti dalam ilustrasi di artikel ini, kita bisa melihat komposisi mahkotanya sangat terpengaruh oleh bentuk-bentuk mahkota Kerajaan Hindu pada masa Kutai kuno (Kutai Martadipura di Muara Kaman).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau