Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eman Dapa Loka

Penulis berasal dari Sumba, NTT. Ia adalah wartawan dan penulis biografi, penggemar lagu-lagu balada yang menyuarakan kecintaan kepada alam dan kemanusiaan. Saat ini tinggal di Bekasi.

Belajar Kehidupan dari Lagu-lagu Ebiet G Ade

Kompas.com - 18/09/2019, 21:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENTAH mengapa, saya tiba-tiba mengingat Ebiet G. Ade, penyanyi legendaris milik Indonesia, pemilik nama asli Abid Ghoffar Aboe Dja'far itu, padahal dia bukan siapa-siapa saya.

Bertemu langsung pun belum pernah. Dan sudah sangat pasti dia tidak mengenal saya.

Namun setelah merenung sejenak, saya menduga, ingatan itu bertemali dengan rasa terima kasih yang terpendam dalam batin kepada Ebiet atas kerelaannya menemani masa remaja saya.

Kok, bisa?

Kala itu di kota kecil Waingapu, Sumba Timur, NTT, di rumah kakak saya yang seorang guru, nyaris tidak ada kaset lain selain album-album Ebiet. Boleh dikatakan nyaris lengkap, walau kemudian hilang satu demi satu.

Saban hari, hanya lagu-lagu Ebiet dengan suaranya yang sangat khas yang kami dengarkan.

Anehnya, kami, khususnya saya tidak bosan-bosan.

Kok, bisa?

Menunggu hujan

Jawabannya saya temukan kemudian, yakni Ebiet melalui lagu-lagunya “berbicara” sangat konkret dan akrab tentang hidup dan pengalaman harian saya sebagai remaja bersama alam dan atmosfer di sekitar.

Masa remaja saya adalah pergaulan dengan alam yang kerontang, namun tidak membuat penghuninya menyerah.

Ketika kota yang curah hujannya sangat kecil itu ditikam tanpa basa-basi oleh sinar terik matahari sepanjang musim kemarau panjang, dan para petani dilanda pilu karena ladang mereka mengering terpanggang mentari, lagu Doa Sepasang Petani Muda milik Ebiet rasanya meniupkan kesegaran dan harapan.

Betapa tidak? Kami sering berdoa bagi datangnya hujan.

Ketika malam tiba, di bawah temaram cahaya bintang dari langit yang selalu cerah, saya acap berdoa agar Tuhan mengirimkan hujanNya untuk para petani dan peternak yang nyaris kehilangan harapan.

Pada saat semacam ini, lirik lagu tersebut menyuntikkan energi baru untuk tetap berharap bahwa Tuhan pasti mengirimkan hujan.

Dalam lagu tersebut, pada bait pertanya dengan tegas Ebiet langsung mengajak untuk tidak beranjak dan tetap menunggu datangnya hujan:

Mari kita tunggu datangnya hujan
Duduk bersanding di pelataran
sambil menjaga mendung di langit
agar tak ingkar, agar tak pergi lagi
Kasih, kemarilah duduk merapat
sama-sama tengadahkan wajah
agar lebih tegar kita memohon
turunnya hujan basahi bumi ini….

Ia mengajak dengan simpatik untuk terus berharap pada kerelaan Tuhan menurunkan hujanNya, untuk tetap bersila, memohon dengan penuh keyakinan sambil menyadari kelemahan insaniah agar hujan:

Basahi ladang kita yang butuh minum
basahi sawah kita yang kekeringan
basahi jiwa kita yang putus asa

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau