MIRA LESMANA mempunyai pengakuan. Dalam acara podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode "Books to Movies" yang tayang hari ini, produser Mira mengaku cemas saat akan menyaksikan film "Norwegian Wood" karya Tran Anh Hung yang diangkat dari novel penulis terkemuka Haruki Murakami.
Seperti pembaca fanatik Murakami lainnya, Mira tentu saja berdebar karena cemas film tersebut tidak akan memenuhi imajinasinya.
Mira mengaku, baru 10 menit menyaksikan, dia kemudian menghentikannya karena tidak berani melanjutkan.
"Saya akhirnya memutuskan untuk membiarkan imajinasi saya yang menciptakan tokoh-tokoh itu," katanya sembari tetap menekankan dia sangat menghormati Tran Anh Hung, sutradara Perancis kelahiran Vietnam yang namanya melejit karena film "The Scent of Green Papaya" (1993).
Yang menarik sebetulnya, selain seorang pembaca Haruki Murakami yang fanatik, dia juga adalah seorang produser yang pernah mengangkat film-film produksi Miles Films dari novel karya Andrea Hirata, di antaranya "Laskar Pelangi" dan "Sang Pemimpi".
Di dalam podcast ini pula, Mira mengaku –bersama sutradara Riri Riza— memutuskan sebuah buku yang biasanya tebalnya ratusan halaman tidak akan sepenuhnya terekspresikan dalam sebuah film sepanjang 120 menit.
"Seusai membaca buku, kita harus menyingkirkannya dan berpikir secara visual dan memutuskan kita akan fokus pada plot dan tokoh yang mana," demikian katanya mengingatkan betapa banyaknya tokoh dalam novel "Laskar Pelangi".
Hal ini tentu saja yang dulu dihadapi oleh sutradara Anthony Minghella ketika dia mengangkat novel "The English Patient" menjadi film.
Selain sudah memenangi The Booker Prize (1992), "The English Patient" adalah salah satu novel yang dipuji-puji kritikus.
Bahkan dua tahun lalu, novel ini dinobatkan kembali sebagai pemenang Golden Man Booker Prize , sebuah pemilihan khusus bagi para pemenang Booker Prize (The Best of the Booker) untuk merayakan 50 tahun terselenggaranya penghargaan tersebut.
Bisa dibayangkan bagaimana Minghella mendapatkan tekanan pembaca, kritikus dan belum lagi studio Hollywood yang "gatal" ingin menggaet Demi Moore sebagai pemeran Katharine Clifton.
Tokoh utama perempuan ini akhirnya diperankan oleh Kristin Scott Thomas, sesuai dengan keinginan sang sutradara.
Tentu saja setelah film ini beredar dan berhasil meraih sembilan Piala Oscar, termasuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, keresahan pembaca sirna.
Apalagi Michael Oondatje, meski secara tak resmi, konon dipasang sebagai co-writer menulis skenario bersama Anthony Minghella, maka ada kesepakatan dan pemahaman semua pihak bahwa bentuk novel yang menggambarkan sudut pandang empat tokoh kemudian difokuskan pada dua tokoh saja, yakni pada Count Ladislaus de Almásy (Ralph Fiennes) dan Catharine. Adapun tokoh Kip dan Hanna, meski juga penting, lebih menjadi pendukung cerita.
Bagi saya, mungkin film "The English Patient" adalah film adaptasi terbaik dari novel yang pernah saya saksikan (dan baca), di luar "Throne of Blood" (Akira Kurosawa, 1957 ) yang diadaptasi dari "Macbeth", William Shakespeare.
Problem "imaji pembaca" versus "imaji sutradara" (yang juga sering bertentangan dengan keinginan produser) adalah salah satu hal yang sering sekali menjadi protes pembaca fanatik buku-buku yang diangkat menjadi film.
Mengapa Virginia Woolf cantik banget? Demikian gerutu calon penonton jauh sebelum beredarnya film "The Hours" karya Stephen Daldry yang mengangkat sastrawan Virginia Woolf dan menampilkan Nicole Kidman sebagai Woolf.
Mengapa Soe Hok Gie ganteng dan bule? Demikian pula gerutu pembaca "Catatan Seorang Demonstran" ketika Miles Films memilih Nicholas Saputra sebagai Gie.
Kok Jack Reacher kecil? Demikian pula pembaca serial Lee Child yang menggambarkan Reacher sebagai seorang veteran bertubuh gigantik, sementara sutradara Christopher McQuarrie menampilkan Tom Cruise yang secara fisik sebetulnya tidak memenuhi deksripsi Lee Child maupun imajinasi pembaca umumnya.
Pada akhirnya, ketika film selesai, barulah disadari bahwa kemiripan fisik memang bukan sesuatu yang paling utama.
Ketika seni peran yang ditampilkan para pemain bisa meyakinkan, maka penonton akan larut dan "melupakan" bahwa Jack Reacher seharusnya bertubuh raksasa seperti yang digambarkan penulisnya.
Baik sutradara Joko Anwar, aktris Dian Sastrowardoyo dan produser Mira Lesmana sama-sama menekankan betapa novel dan film adalah dua medium yang berbeda.
Mereka paham betapa novel mengandalkan kekuatan kata-kata sementara film adalah sebuah medium visual.
Dalam podcast ini, Joko Anwar, yang mengangkat novel thriller karya Sekar Ayu Asmara, menjelaskan mengapa perubahan yang dia lakukan ke layar lebar sangat besar dan nyaris seperti merombaknya.
"Novel itu memiliki elemen surealisme yang kental, sedangkan saya mencoba membumikan elemen horor itu ke dalam tokoh-tokohnya, bukan ke dalam genre," katanya.
Adapun Dian Sastrowardoyo, yang memerankan tokoh Kartini maupun Aruna untuk film "Aruna dan Lidahnya", mengaku bahwa buku-buku yang mendasari film tersebut sangat penting.
"Yang paling menantang mungkin tokoh Kartini, dan mas Hanung meminta saya membaca 'Panggil Saya Kartini' karya Pramoedya Ananta Toer karena dia ingin saya memahami Kartini sebagai seorang manusia, perempuan, jadi belum sebagai seseorang yang menulis surat dengan bahasa yang cerdas yang selama ini dikenal pembaca," kata Dian.
Episode "Books to Movies" ini bisa Anda dengarkan di Spotify Leila S Chudori.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.