Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Adinia Wirasti Menggenggam "Sang Keris"

Kompas.com - 17/06/2020, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBUAH keris. Sebuah ledakan cerita.

Kanjeng Kiai Kirosih adalah "Sang Keris" yang menembus ruang dan waktu. Berpindah dari satu tangan ke tangan lain; tangan seorang senapati, ke tangan pencuri, ke tangan telik sandi hingga pernah pula menyemburkan cahayanya di tangan seorang ledhek.

Dalam novel sepanjang 110 halaman ini (Gramedia Pustaka Utama, 2020), penulis Panji Sukma berkisah tentang Kirosih yang tak hanya menjadi rebutan dan menggegerkan jagat ini, tetapi seperti manusia, Sang Keris juga mempunyai hasrat,ambisi, keinginan dan kecemburuan.

Program podcast "Coming Home with Leila Chudori" kali ini, saya mengundang Adinia Wirasti, aktris pemenang Festival Film Indonesia yang mempunyai ketertarikan khusus pada wayang dan literatur serta budaya Jawa, untuk membahas "Sang Keris" yang tahun lalu menjadi pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta itu.

Sebelumnya, pada musim tayang lalu, Adinia pernah kami undang untuk membahas buku "Centhini, Kekasih yang Tersembunyi"--saduran, gubahan, atau tafsir Elizabeth Inandiak (Kepustakaan Populer Gramedia)--yang menunjukkan bagaimana pemahaman dan minat Adininia terhadap kebudayaan Jawa terutama tentang dalang dan perwayangan.

Bagi Adinia, "Seorang dalang memiliki kedudukan yang istimewa. Bagi seorang pekerja film seperti saya, dalang seperti seorang sutradara, kreator sekaligus pemain."

Dengan kata lain, seorang dalang adalah sang penentu segalanya, seperti yang kelak disajikan dalam salah satu bab novel ini.

"Sang Keris" bagi Adinia adalah sebuah novel pendek yang menjadi langkah pertama dari sebuah cerita panjang.

Paling tidak itu harapan Adinia karena, "Karakter demi karakter yang menarik yang sangat potensial untuk dikembangkan."

Seperti halnya yang juga diutarakan para juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019, "Beberapa dapat berdiri sebagai cerita tersendiri..."

Novel yang dinyatakan sebagai pemenang kedua ini-–setelah novel "Aib dan Nasib" karya Minato--memang berhasil memukau dengan berbagai tokoh yang bernafsu memiliki keris sakti yang memiliki tabiatnya sendiri.

Perjalanan keris Kanjeng Kiai Karonsih terbentang sejak periode kerajaan Jawa kuno, Majapahit, hingga Indonesia di masa modern.

Setiap bab berganti, keris itu berpindah tangan entah karena dicuri atau karena pemilik sebelumnya kalah pertarungan.

Kisah setiap bab tidak disajikan secara kronologis sehingga kita bisa saja melompat dari periode masa silam ke masa kini.

Yang konstan dalam setiap bab adalah keris Kiai Karonsih yang sakti. Sedemikian dahsyatnya, hingga dari maling, perampok, hingga senapati dan raja berburu sang keris karena bernafsu memilikinya.

Jika Adinia Wirasti mengaku bab-bab awal novel ini adalah page-turner yang sulit membuatnya berhenti, saya malah merasa bab awal adalah bagian yang agak menyiksa karena menggunakan sudut pandang orang kedua: "Kau pasti paham mengapa gadis-gadis bau kencur itu tak tertarik padamu, bahkan sekadar melirik pun tak akan lebih dari dua detik..."

Menggunakan sudut pandang kedua--yang jarang digunakan, tetapi tampaknya disukai oleh beberapa penulis Indonesia--mempunyai risiko tersendiri.

Paling tidak bagi saya sebagai pembaca, sudut pandang kedua akan membangun pagar-pagar, halangan berimajinasi luas karena si pencerita nyaris mendikte pembaca.

Tentu saja saya menghargai keinginan Panji Sukma untuk bereksperimen dan hasratnya untuk mencoba-coba. Ini adalah sebuah keinginan yang sah sekaligus berisiko.

Untung saja ketika Panji Sukma masuk ke bab berikut tentang Arya Matah, ia menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Cerita langsung melesat, bergerak dengan gesit dan dengan sekejap tokoh-tokoh ciptaan Panji langsung meringkus perhatian.

Barulah pada titik ini, kita tak akan mau berhenti membaca dan mengikuti kelincahan petualangan Sang Keris.

Tak mengapa kisah ini diungkapkan secara non-linier, Panji Sukma tetap mahir memperkenalkan tokoh-tokoh yang asyik di dalam waktu yang singkat, misalnya Suji, sang Penari yang tenang dan sekaligus dahsyat ketika berlaga menerabas leher Parikesit.

Atau, saat Sang Dalang Ki Narti Sabdo "berbincang" dengan wayangnya Prabu Karna yang menurut Adinia Wirasti adalah salah satu bab yang paling memukau.

Bagi Adinia, bab ini adalah sebuah "kesaksian" bagi tokoh Karna "yang diberi nyawa" untuk berbicara bahwa dia diciptakan untuk dikorbankan, agar kemenangan tetap berada di tangan Pandawa, agar keseimbangan terjaga.

Perbincangan yang asyik dengan narasumber seperti Adinia Wirasti yang menikmati dunia perwayangan dan berbagai istilah Jawa Tengah, bagi saya selalu membuka pintu-pintu tafsir baru.

Kami sama-sama sepakat, di dalam buku yang begitu tipis dan ruang yang sempit, Panji Sukma berhasil menciptakan ledakan.

Tentu saja kami juga berharap suatu hari Panji Sukma membuat sebuah cerita yang lebih luas dan dalam dari novel "Sang Keris" karena pembacanya sudah terlanjur terikat dan terpesona dengan tokoh-tokohnya.

Perbincangan dengan Adinia Wiratsi tentang novel "Sang Keris" karya Panji Sukma bisa Anda dengarkan hari ini di Spotify.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com