Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Budiman Sudjatmiko, Gwang Ju dan Anak-anak Revolusi

Kompas.com - 10/06/2020, 07:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH sebuah buku mampu menggerakkan seseorang untuk bertindak?

Bagi seorang Budiman Sudjatmiko yang mengaku mengenal buku-buku kakeknya sejak usia dini, apa yang dibacanya adalah sesuatu yang kemudian menggerakkan pikiran, pandangan dan kelak sebuah gerakan.

Dalam bukunya "Anak-anak Revolusi" (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Budiman bercerita bagaimana sejak kecil ia tumbuh membaca buku-buku milik kakeknya.

Di antaranya adalah "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Ir Sukarno, yang sampai kini adalah serial klasik yang wajib dibaca setiap warga Indonesia.

Di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang mengudara hari ini, Budiman mengaku bahwa membaca "Human Acts" karya sastrawan Korea Selatan, Han Kang, (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Mata Malam") mengingatkan masa-masa dia menjadi aktivis dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

"Peristiwa Gwang Ju saat itu sangat tertutup, jadi dunia baru mengetahuinya beberapa tahun kemudian," kata Budiman di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori".

Para aktivis, yang di antaranya kelak kita ketahui dikenal dengan nama Partai Rakyat Demokratik (PRD), menurut Budiman, mempelajari banyak hal setiap kali mereka berkumpul dalam kelas-kelas yang diselenggarakan untuk mengisi wawasan.

Dari berbagai peristiwa politik di Korea Selatan, Filipina, maupun Myanmar, yang berhasil maupun yang gagal. Mereka juga membahas berbagai buku yang dilarang maupun yang bebas beredar.

Tentu saja Han Kang menulis fiksi, sementara Budiman menceritakan sebuah semibiografi perjalanan politiknya pada usia yang relatif muda (dia sudah pernah ditahan karena mengadakan sebuah diskusi buku ketika duduk di SMA).

"Human Acts" karya Han Kang ditulis dari beberapa sudut pandang. Setiap bab menampilkan satu sudut pandang yang menarasikan peristiwa Gwang Ju atau akibat yang terjadi pada sang tokoh.

Han Kang justru tidak menggambarkan tragedi Gwang Ju yang berdarah. Namun, akibat peristiwa itu pada seorang pemuda yang mencari jenazah aktivis yang tewas di atas tumpukan jenazah, seorang aktivis yang tewas, seorang penyunting, seorang tahanan, seorang ibu, dan seorang penulis.

Rentang setting tak selalu berkutat pada tahun 1980, tetapi ada beberapa bab digambarkan 10 tahun kemudian dan bagaimana peristiwa itu tetap menyisakan luka pada warga Korea.

Gaya penulisan pada bab pertama Human Acts pada bab awal menggunakan sudut pandang orang kedua, sebuah gaya yang jarang dipilih penulis umumnya, tetapi tampaknya disukai oleh sebagian penulis Indonesia.

Salah satu strategi penulisan dengan sudut pandang kedua lazimnya agar pembaca bisa merasakan apa yang dialami protagonis (meski sebetulnya sudut pandangan pertama pun bisa memberikan efek yang sama intensitasnya).

Gaya penulisan seperti ini, bagi saya, mempersempit keinginan pembaca untuk menafsir dan meluaskan imajinasi karena si pencerita sudah "mendiktekan" segala yang terjadi dan reaksi protagonis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com