HANYA ada satu Gabo. Hanya ada satu yang bernama "Seratus Tahun Kesunyian".
Hanya ada satu "Cien Anos de Soledad" yang lahir tahun 1967 dan diterjemahkan oleh Gregory Rabassa ke dalam bahasa Inggris menjadi "One Hundred Years of Solitude".
Karya sastrawan dan wartawan Gabriel Garcia Marquez ini membawa karyanya ke seluruh pelosok dunia melalui terjemahan ke dalam 50 bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia (diterbitkan Pustaka Utama Gramedia).
Novel sepanjang 422 halaman ini bercerita tentang beberapa generasi dari keluarga besar Jose Arcadio Buendia dari masa dibangunnya desa fiktif Macondo.
Marquez mendeskripsikan peristiwa demi peristiwa yang begitu ajaib, begitu magis bertaburan mitos.
Rangkaian peristiwa fantastis disajikan seolah-olah hal itu sesuatu yang biasa saja, yang lazim, sehingga gerakan aliran realisme magis kembali mengalir dengan deras ke seluruh penjuru hingga ke Indonesia.
Mengutip kritikus sastra terkemuka Harold Bloom tentang karya Marquez, "There is not a single line that does not flood with detail. It is all story, where everything conceivable and inconceivable is happening at once."
Misalnya nukilan yang dibacakan akademikus filsafat Rocky Gerung di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori", yang mengudara hari ini.
Bagian yang dibacakan dan dibahas ini adalah sebuah adegan penting di mana tokoh Prudencio Aguila yang sudah mati, dengan tenang dan santai meluncur masuk ke dapur Ursula, salah satu tokoh utama novel ini.
"Peristiwa terbunuhnya Prudencio Aguilar dianggap duel demi kehormatan. Tetapi kedua pihak sama-sama merasa tertusuk nuraninya. Suatu malam, ketika Ursula tak bisa tidur, ia keluar ke halaman untuk mengambil air. Dilihatnya Prudecio Aguilar berdiri dekat guci besar tempat air..."
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.