Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Menjadi Penyair, Membaca Syair Warih Wisatsana

Kompas.com - 09/09/2020, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ini tarian terakhirmu yang indah

Atau tubuh pasrah yang sedih

Penulis lakon itu mengelabuimu
Membujukmu jadi sita yang setia
Berserah diri
Terjung ke unggun api...

("Mesatya", Warih Wisatsana)

PUISI yang diinspirasikan oleh lakon Ramayana adalah sebuah suara yang kritis dari seorang penyair Bali yang menganggap bahwa "kita harus menilai ulang apa arti agung, luhur dan kebenaran."

Tentu saja bukan hanya Warih Wisatsana yang mempersoalkan Sita yang harus membuktikan kesetiaannya--setelah diculik Rahwana--dengan terjun ke dalam kobaran api, penyair Goenawan Mohamad maupun Sapardi Djoko Damono juga menulis puisi yang kritis dengan tema yang sama sebelumnya.

Di dalam puisi "Mesatya", menurut Warih dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori", ia menyatakan bahwa kesetiaan tidak boleh dan tidak bisa diukur dari tubuh perempuan.

Baik lelaki dan perempuan sama-sama diharapkan untuk setia, tetapi tubuh bukanlah ukuran untuk sebuah bukti atau hukuman.

Puisi-puisi yang tercantum dalam kumpulan "Batu Ibu" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2019) terdiri dari berbagai tema, yang tanpa sengaja ternyata selalu melibatkan kata "batu" dan "ibu" dank arena itulah kumpulan ini kemudian dinamakan "Batu Ibu".

Sebagai seorang kurator seni rupa, tak heran jika dua dari 37 puisi yang memenuhi buku ini terinspirasi dan didedikasikan kepada dua maestro Indonesia: Salim (Obituari Pelukis Salim) dan Hendra Gunawan ("Bersama Hendra Gunawan ke Trunyan).

Puisi "Bersama Hendra Gunawan ke Trunyan" diciptakan tahun 2015 meski ide itu lahir tahun 1984 ketika Warih mengunjungi Taman Budaya Bali.

Pada saat itu, menurut Warih, kali pertama ia "berkenalan" dengan warna warni sang maestro pelukis Hendra Gunawan.

Menurut Warih, lukisan karya Hendra menorehkan puisi di atas kanvas yang membayangi-bayanginya, mengesankan dan menyentuh hingga bawah sadar Warih tentang bagaimana orang mati di pekuburan Trunyan; tentang ritualnya di masa Bali pra Hindu yang menyebabkan jenazah yang tetap mewangi.

Dari lukisannya itu, bagi Warih, Hendra mengungkapkan bahwa "kalian (mayat) yang terbaring di tanah Trunyan masih tetap mewangi, kami yang hidup, belum mati tapi sudah berbau". Maka jadilah puisi "Bersama Hendra Gunawan ke Trunyan".

Namun, ada satu hal yang penting bagi sosok penyair ini. Selain hidup dari dan untuk kata-kata, dia juga memiliki daya ucap dan bunyi yang menarik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com