Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Berbincang tentang Romo Mangun dengan Joko Pinurbo

Kompas.com - 16/12/2020, 06:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

1999, Hotel Le Meridien.

KAMI tengah beristirahat setelah sesi pertama sebuah diskusi dunia perbukuan. Saya sendiri hadir sebagai salah satu pembicara di sesi berikut ketika saya melihat YB Mangunwijaya alias Romo Mangun--demikian panggilan akrab beliau—berbincang dengan kolumnis M Sobary dan beberapa orang lain, membentuk lingkaran kecil.

Saya hanya mengangguk dari jauh kepada keduanya.

Tak lama, tiba-tiba saja heboh, Romo Mangun tampak terkulai dan segera ditangkap oleh penulis M Sobary. Beliau segera dibawa ke klinik hotel dan hanya beberapa saat beliau ternyata sudah pergi ke alam baka.

Belum pernah saya mengalami sebagai saksi seseorang yang mengembuskan napas akhir, sehingga pengalaman ini tak pernah hilang dari benak saya.

Seperti halnya tak pula hilang kenangan Romo Mangun yang ikut duduk bersila di lantai sayap kanan Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki (saking penuhnya yang hadir) di Kongres Kebudayaan 1986.

Kami tertawa kecil menyaksikan Sutan Takdir Alisyahbana yang menggerutu dengan penggunaan kata "pantau"--yang menurut beliau tak bisa dijamin itu berarti "monitor".

Lahir tahun 1929 di Ambarawa, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang dikenal sebagai Romo Mangun adalah seorang rohaniwan, seorang arsitek, aktivis dan tentu saja sastrawan yang sudah menghasilkan belasan buku.

Salah satu karya Romo Mangun yang dikenal melalui novelnya yang berjudul "Burung-Burung Manyar".

Novel ini mengambil setting di masa penjajahan Belanda dan mengantarkannya pada penghargaan sastra seAsia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.

Romo Mangun juga melahirkan novel seperti Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa; Trilogi "Roro Mendut"; novel Durga/Umayi dan esai-esainya tersebar di berbagai media dikumpulkan dalam buku, salah satunya adalah "Sastra dan Religiositas".

Di dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode pembuka musim tayang 5 ini, penyair Joko Pinurbo menceritakan bagaimana bersama Th Kushardini berupaya mengumpulkan, menyeleksi dan menyunting kedua karya Romo Mangun yakni novel Pohon-pohon Sesawi dan kumpulan cerpen "Rumah Bambu" yang kemudian diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia.

Salah satu tantangan Joko Pinurbo yang mempunyai gaya penulisan yang khas sendiri tentu saja adalah karena perbedaan gaya.

"Romo Mangun, seperti juga para penulis di jamannya gemar menulis dengan kalimat panjang-panjang," demikian ujar Joko Pinurbo dalam acara podcast ini.

"Jika ada beberapa kalimat yang terlalu panjang, saya memotongnya menjadi dua kalimat agar lebih rapi. Tetapi gaya serta diksi Romo Mangun yang jenaka harus tetap dipelihara."

Salah satu cerita pendeknya di dalam kumpulan cerpen "Rumah Bambu" berjudul "Tak Ada Jalan Lain" adalah cerpen yang menyentuh sekaligus jenaka.

Cerpen ini mewakili sikapnya yang sangat membela rakyat marjinal, sangat inklusif, bukan hanya soal ras, etnik dan agama saja, tetapi juga moral.

Dalam ceritanya, ada tokoh Baridin yang mencari uang dengan menyanyi dan joget dengan mengenakan baju perempuan.

Ada pula Ruyem, pelacur yang dengan penuh wibawa dan harkat melarang Baridin untuk rendah diri dan jangan pernah "menganggap diri tak punya apa-apa."

Lucu, cerkas sekaligus kontemplatif, cerpen-cerpen Romo Mangun ini sangat menunjukkan kepribadian penulisnya yang kritis kepada mereka yang selalu bersikap menghakimi pada pekerja seks.

Romo Mangun memang penulis yang unik. Selain dia seorang penulis dan eseis yang produktif menulis di masanya, Romo Mangun aktif turun ke jalan membantu kaum marjinal yang tergusur pembangunan.

Tahun 1980-1986, Romo Mangun mendampingi warga tepi Kali Code yang terancam penggusuran. Romo Mangun juga melakukan mogok makan menolak rencana penggusuran itu.

Rumah-rumah di Tepi Kali Code kemudian dibangun berdasarkan arsitektur Romo Mangun hingga ia memperoleh penghargaan The Aga Khan Award.

"Pandangannya terhadap agama sangat relaks, dan itu yang membuat saya terinspirasi menulis puisi-puisi yang sesekali menyentuh agama dengan humor," kata Joko Pinurbo mengakui.

Perbincangan tentang karya-karya Romo Mangunwijaya bersama penyair Joko Piburbo bisa didengarkan pada episode terbaru podcast Coming Home with Leila Chudori di platform Spotify.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau