Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Sejarah Indonesia, Bernard Vlekke dan Bonnie Triyana

Kompas.com - 30/12/2020, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Indonesians are deprived from their own history."

INI yang selalu saya jawab ketika wartawan asing mewawancarai atau di dalam panel diskusi yang menyangkut fiksi sejarah.

Pelajaran sejarah, seperti juga sastra , adalah sesuatu yang tak dibahas dengan serius dan mendalam di dalam kurikulum pendidikan kita.

Bahkan ketika di bangku SMA di masa Orde Baru, mereka yang duduk di kelas IPA tak lagi memperoleh pelajaran sejarah atau geografi.

Bisa dibayangkan, pengetahuan sejarah modern Indonesia tentang peristiwa tragedi 1965 yang selama puluhan tahun didominasi oleh perspektif tunggal Orde Baru.

Paling tidak untuk generasi saya dan mereka yang lahir dan tumbuh menjadi dewasa selama pemerintahan Soeharto sejak 1966 hingga 1998.

Namun pasca 1998, revisi atau penambahan sejarah Indonesia secara resmi tak kunjung dilakukan.

Beberapa anak-anak SMA menyampaikan pada saya bahwa sejarah 1998 hanya ditulis dalam satu alinea bahwa Presiden Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, tanpa penjelasan apa pun. Bayangkan, kini kita sudah akan memasuki tahun 2021.

Itulah sebabnya saya menyatakan kalimat itu: "Indonesians are deprived from their own history."

Menurut sejarawan dan Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana, "Ada sejarah di ruang kelas, ada pula sejarah di ruang publik.

Sejarah di ruang publik berjalan lebih baik," demikian katanya dalam program podcast "Coming Home with Leila Chudori" episode terbaru.

Episode ini sesungguhnya membahas buku sejarah "Nusantara – Sejarah Indonesia" karya sejarawan Belanda Bernard H.M Vlekke yang diterbitkan pertama kali 60 tahun silam.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kini diterbitkan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, buku "Nusantara" bisa dikatakan sebuah upaya komprehensif merangkum sejarah Indonesia sejak ribuan tahun lalu ketika masih terdiri dari berbagai kerajaan Hindu hingga masa masa kolonialisme.

Karena itu, sebetulnya, penulisan Vlekke berhenti sebelum Indonesia merdeka. Tetapi tentu saja pembahasan dengan Bonnie Triyana tak bisa tak menyentuh persoalan sejarah modern Indonesia tadi karena sejarah modern itulah yang ikut menentukan cara berpikir, bertindak dan bersikap saat ini.

Penulisan sejarah Indonesia kuno pun sebetulnya tak terlalu berlimpah ruah.

Di dalam buku kumpulan esei "Perceptions of the Past in Southeast Asia" (1979) yang disusun Anthony Reid dan David Marr, ada pertanyaan yang penting untuk dijawab, bahkan sampai saat ini: apakah Indonesia mempunyai tradisi mencatat dan menulis sejarah sebagaimana lazimnya sejarawan Barat mendata dan menganalisis?

Pembahasan ini cukup menarik karena di dalam buku "Nusantara – Sejarah Indonesia" karya sejarawan Belanda Bernard HM Vlekke pertanyaan serupa muncul.

Menurut Vlekke, para sejarawan asing "jengkel" saat menekuni dan mempelajari sejarah Indonesia karena "kitab sejarah Jawa" seperti Pararaton dan Negara Kartagama adalah campuran sejarah, legenda, dan mistik.

Menanggapi hal ini, Bonnie mengatakan bahwa tentu saja sejarawan modern di Indonesia selalu akan memilah mana yang dianggap sebagai "mitologi" dan mana yang dianggap sebagai fakta terutama karena memang ada bukti-bukti peninggalan artefak yang sudah dikonfirmasi para arkeolog.

Seperti dikatakan Bonnie Triyana, buku karya Bernard Vlekke penting dan menarik dibaca meski kita tetap harus kritis karena Vlekke adalah sejarawan Belanda yang konservatif.

Dia menganggap sosok macam JP Coen adalah "seorang negarawan dengan visi besar dan imajinasi dan pandangan jauh ke depan yang menjadi ciri utama pemimpin sejati manusia."

Menanggapi pernyataan ini, Bonnie menganggap Vlekke tentu saja mempunyai bias personal karena lebih memandang Coen sebagai sosok pribadi dan tak meletakkan posisi Coen sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas pembantaian sekitar 15.000 penduduk Kepulauan Banda, misalnya.

Perbincangan ini bisa Anda ikuti dalam program podcast "Coming Home with Leila Chudori" di Spotify.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau